Di langit ada seorang dewa bernama Fu Xi. Ia merasa sedih menyaksikan beratnya kehidupan di dunia. Timbul keinginannya untuk menolong manusia di bumi dengan memperkenalkan kegunaan api kepada manusia, lalu dengan kesaktiannya ia menurunkan hujan dan halilintar di hutan. Terdengar bunyi "tar, tar", halilintar menghantam pohon dan terbakarlah pohon-pohon itu, dengan cepat api menjalar dan menimbulkan kebakaran hutan yang dahsyat. Orang-orang yang panik menyaksikan halilintar dan kebakaran buru-buru melarikan diri.
Tak lama kemudian, hujan berhenti dan malam tiba, tanah yang basah oleh hujan menjadi lebih dingin. Orang-orang yang melarikan diri kembali berkumpul. Mereka dengan perasaan takut memandang pohon-pohon yang sedang terbakar. Pada waktu itu, seorang pemuda mendapatkan bahwa suara binatang liar yang biasanya muncul di sekitar mereka tidak terdengar lagi. Ia berpikir, apakah binatang liar takut pada benda yang menyala itu?
Dengan berani ia mendekati benda yang membara dan segera terasa begitu hangat udara di sekitarnya. Maka dengan gembira ia mengajak teman-temannya,"ayo kemari, api tidak menakutkan, api membawa terang dan kehangatan." Ketika itu pula, orang menemukan binatang liar yang mati terbakar menyebarkan bau yang gurih. Mereka lalu berkumpul di dekat api dan membagi-bagikan daging binatang liar yang terbakar itu, belum pernah mereka merasakan lezatnya makanan seperti itu.
Dari pengalaman ini, manusia mulai mengenal api dan mengetahui penting kegunaan api. Lalu dicarilah ranting-ranting kayu untuk menyalakan api. Setiap hari benih api itu dijaga secara bergilir supaya tidak padam. Namun pada suatu hari, orang yang menjaga api itu tertidur, dan ranting habis terbakar, api pun padam. Manusia kembali terjerumus dalam gelap dan dingin. Mereka merasa sangat sedih.
Semua ini disaksikan oleh Dewa Fu Xi. Ia menemui pemuda yang paling awal menemukan kegunaan api itu lewat mimpinya dan memberitahu kepadanya, "Di sebelah barat yang sangat jauh ada sebuah negeri bernama Suiming, di sana ada benih api. Pergilah ke sana untuk mengambil benih api itu." Setelah bangun dari tidur, pemuda itu ingat akan apa yang dikatakan sang dewa. Ia membulatkan hati untuk mengambil benih api di Negeri Suiming.
Pemuda itu akhirnya sampai di Negeri Suiming setelah melintasi seribu gunung dan sungai serta hutan belantara dengan mengatasi segala mara bahaya dan kesulitan. Akan tetapi, di sana ternyata tidak ada sinar matahari, sekeliling gelap-gulita tak ada perbedaan siang dan malam, apalagi api. Sang pemuda sangat kecewa, lalu duduk di bawah pohon Suimu. Tiba-tiba, di depan pemuda itu terlihat ada sinar berkilat, menerangi alam sekeliling. Segera ia bangkit mencari tempat asal sinar itu. Pada saat itulah ia melihat beberapa ekor burung besar sedang mematuk kutu di pohon Suimu dengan menggunakan paruhnya yang pendek dan keras. Setiap kali burung mematuk, ada bunga api memercik dari pohon itu.
Menyaksikan pemandangan itu, terlintas di benak pemuda itu untuk meniru apa yang dilakukan burung tersebut. Segera dicarinya ranting-ranting pohon Suimu, lalu digosok-gosokkan ranting yang kecil ke ranting yang lebih besar. Alhasil, percikan api menyala, tapi tak ada api. Sang pemuda tidak berkecil hati, dicarinya lagi ranting-ranting berbagai macam pohon, dengan sabar ia mencoba menggosok-gosokkan ranting-ranting dari pohon yang berbeda. Akhirnya ada asap mengepul dan api menyala. Begitu gembira pemuda itu sampai tak dapat menahan tetesan air mata.
Sang pemuda kembali ke kampung halaman dengan membawa benih api yang tak akan padam untuk selamanya yakni cara mendapatkan api dengan mengebor kayu. Sejak itulah manusia tidak lagi hidup dalam kedinginan dan ketakutan. Pemuda itu dikagumi masyarakat karena keberanian dan kecerdasannya, dan iapun diangkat menjadi pemimpin dan dinamakan "Suiren" yang berarti pengambil api. [Jelia Lin / Kupang]