BUDAYA | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Senin, 17 Januari 2011

MAKNA IMLEK SEBENARNYA

Pada kesempatan kali ini, saya hadir lagi dengan berbagai informasi yang menurut saya memang patut untuk kita semua ketahui. Mengapa saya katakan ini wajib dibaca?? Ya, tentu saja jawabannya karena sudah banyak sekali pertanyaan yang muncul dan banyak sekali kesalahpahaman yang sudah terjadi selama bert...ahun - tahun dan tidak ada yang memperhatikan maupun meluruskan hal tersebut. Untuk itulah, sebelum perayaan Tahun Baru Imlek tiba, saya akan meluruskan perihal kesalahpahaman yang sering terjadi di kalangan etnis Tionghoa khususnya di Indonesia ini terlebih dahulu. Karena dari kemarin" saya sudah perhatikan masih banyak juga member yang kadang bisa salah kaprah soal ini.

Kali ini saya akan membahas tentang Imlek, se benarnya adalah Tahun Baru bagi kita semua etnis Tionghoa, bukan Hari Raya. Hari Raya umat Buddha adalah hari Raya Waisak, jadi Imlek sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai Hari Raya Imlek.

Berikut penjelasan yang telah saya edit secara detail, setelah ini, kita semua sudah diharapkan untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya dan semoga tidak terjadi kesalahpahaman seperti yang sudah pernah terjadi sebelum - sebelumnya. Dan bagi yang sudah pernah baca perihal ini, tidak apa - apa, karena ini memang diperuntukkan untuk yang belum pernah mengetahuinya. Terima kasih.

Imlek Bukan Hari Raya Agama

Beberapa hari lagi masyarakat keturunan Tionghoa akan merayakan Hari Raya Imlek. Imlek adalah hari raya tahun baru berdasarkan penanggalan Imlek yang dirayakan setiap tanggal 1 bulan pertama kalender Imlek. Namun tahun ini, kita akan merayakannya tepat 2 hari kemudian setelah tanggal 1, tepatnya jatuh pada tanggal 3 Februari 2011. Perayaan Imlek disebut Sin Cia (Hokkian), Xin Jia (Mandarin), yang artinya tahun baru.

Kalender Imlek adalah penanggalan yang menganut perhitungan berdasarkan peredaran bulan (lunar calendar). Tidak seperti kalender masehi (kalender Gregorian) yang berdasarkan peredaran matahari (solar calendar)

Perayaan Imlek juga disebut Chun Cie/Chun Jie (pesta musim semi). Hal itu erat kaitannya dengan keadaan musim di Tiongkok, di mana penduduk mengalami perubahan dari musim dingin yang suram dan dingin menjadi musim semi yang cerah dan sejuk, serta penuh dengan kehidupan baru dari flora dan fauna. Maka kedatangan musim semi sangat disyukuri dan dirasakan patut dirayakan dengan penuh sukacita.

Pada Tahun Baru Imlek, vihara dan kelenteng penuh sesak oleh orang-orang yang datang untuk sembahyang. Oleh sebab itu, banyak orang yang bukan etnis Tionghoa dan bukan beragama Buddha, bahkan ada sebagian umat awam umumnya yang beragama Buddha KTP masih mengira Imlek adalah hari raya agama Buddha disebabkan ramainya keadaan vihara, apalagi mengingat vihara adalah tempat beribadat umat Buddha pada umumnya.

Imlek bukan hari raya agama Buddha. Hari raya agama Buddha adalah Tri Suci Waisak yang memperingati tiga peristiwa penting, yaitu hari lahirnya Pangeran Sidharta Gautama, hari Pangeran Sidharta Gautama menjadi Buddha dengan dicapainya penerangan sempurna, dan hari wafatnya Sang Buddha dan memasuki Parinibbana (Parinirwana).

Imlek juga bukan hari raya agama Konghucu. Hari raya agama Konghucu adalah hari lahir Nabi Konghucu, hari wafatnya Nabi Konghucu dan Hari Genta Rohani (Hari Nabi Konghucu meninggalkan jabatan pemerintah dan mengembara ke dalam dunia spiritual).

Hari Raya Imlek adalah pesta rakyat yang paling utama dalam almanak Tionghoa, yang dirayakan dari tanggal satu bulan satu (lunar kalendar) Imlek sampai dengan tanggal 15 bulan satu Imlek (Cap Go Me), selama 15 hari.

Etnis Tionghoa merayakan Imlek di vihara dan kelenteng bukan hanya menyembah Buddha, tetapi juga untuk menyembah dewa-dewa dan orang suci untuk menyatakan rasa syukur, berterima kasih, serta memohon perlindungan dan kebaikan bagi keluarganya di tahun-tahun yang akan datang.

Sejak ribuan tahun lalu, di negeri Tiongkok banyak orang sekaligus menganut tiga agama, Buddha, Tao, dan Konghucu, sehingga dapat disebut sebagai agama Sam Kao atau Tri Dharma. Ciri agama orang Tionghoa sampai sekarang masih banyak yang bercorak agama majemuk. Dalam hal kepercayaan, orang Tionghoa umumnya tidak mutlak percaya pada satu agama, melainkan mengambil unsur-unsur tertentu dari berbagai agama masing-masing. Banyak etnis Tionghoa di Indonesia yang juga menyembah dewa-dewa majemuk.

Prof. Kong Yuanzhi, Guru Besar Bahasa dan Kebudayaan Indonesia, Fakultas Studi Ketimuran (Oriental Studies), Universitas Peking, dalam bukunya Silang Budaya Tiongkok Indonesia, menyatakan, di Jakarta selama 1650 - 1975, berturut-turut telah dibangun 72 vihara dan kelenteng. Dewa-dewa dan orang suci yang dipajang di dalam 72 vihara dan kelenteng itu seluruhnya berjumlah 115 macam.

Jadi, di vihara atau kelenteng tidak hanya ada patung Buddha, tetapi juga banyak patung lainnya. Antara lain, Dewi Kwan Im, Kwan Kong, Konghucu, Toa Pekong, Dewi Langit, Dewi Samudra, Dewa Tanah, dan Delapan Dewa.

Sebagai contoh, di Vihara Dharma Bakti (Kelenteng Kim Tek Yan) yang dibangun sekitar 1650 di Jalan Toa Se Bio, Glodok, Jakarta, dipajang patung-patung: Bodhisatva Kwan Im, Bodhisatva Ksitigarbha, Zhao Gongming, Kwan Kong, Dewa Tanah, Dewi Tian Hou, dan lain-lain.

Kepercayaan etnis Tionghoa di Indonesia bersifat sinkretis dibantah oleh sebagian etnis Tionghoa. Menurut alam pikiran mereka, hal itu kurang dapat dibenarkan. Secara individual mereka mempunyai satu agama yang diyakininya, tetapi dalam peribadatan menganut paham pragmatis, sesuai dengan motivasi hidup, yaitu kemakmuran duniawi, usia panjang, dan jauh dari malapetaka.

Oleh karena itu penyembahan terhadap dewa-dewa dan orang suci di vihara amat sering disertai dengan permintaan. Minta usahanya maju, minta dijauhkan dari sakit-penyakit, dan permintaan lainnya. Bagi etnis Tionghoa adalah suatu keharusan untuk melaksanakan pemujaan kepada leluhur, seperti, dalam upacara kematian, memelihara meja abu atau ling wei (lembar papan kayu bertuliskan nama almarhum leluhur), bersembahyang leluhur pada hari Ceng Beng/Qing Ming (hari khusus untuk berziarah dan membersihkan kuburan leluhur) dan Tahun Baru Imlek.

Oleh sebab itu, pada Tahun Baru Imlek anggota keluarga akan mengunjungi rumah anggota keluarga yang memelihara lingwei (meja abu) leluhur untuk bersembahyang. Atau mengunjungi rumah abu tempat penitipan ling wei leluhur untuk bersembahyang.

Di Jakarta terdapat banyak Rumah Abu tempat penitipan abu leluhur yang dikremasi atau ling wei dari leluhur yang sudah dimakamkan.

Pemujaan terhadap leluhur merupakan salah satu bagian penting dari kebudayaan etnis Tionghoa. Banyak etnis Tionghoa yang percaya bahwa alam semesta adalah Chi
(energi).

Ketika manusia meninggal dunia maka jasadnya turun ke bumi, sedangkan rohnya hidup terus di langit sebagai Chi. Hal ini memungkinkan orang yang masih hidup untuk berhubungan dengan leluhur mereka yang sudah meninggal dunia melalui pemujaan, ritual, dan upacara.

Imlek dirayakan secara meriah dan hikmat oleh etnis Tionghoa di Indonesia, terutama etnis Tionghoa yang masih kental menjalankan adat - istiadat leluhurnya, yang masih mengikuti ajaran Nabi Konghucu dengan sepenuh hati, yang percaya dan taat pada anjuran dan larangan-larangan ajaran Tao, dan yang masih taat melaksanakan dengan seksama upacara dan kebiasaan - kebiasaan tradisi leluhur.

Sebaliknya, banyak pula pemuda - pemudi keturunan Tionghoa, yang hidup terpisah dari keluarga besarnya, sudah tidak lagi peduli dengan adat - istiadat leluhur atau yang sudah melebur ke dalam kehidupan adat, kebiasaan pribumi, serta tidak begitu merayakan Imlek lagi.

Perayaan Imlek mempunyai makna pengucapan syukur atas berkat dan kelimpahan yang sudah diterima pada tahun yang lalu dan permohonan berkat dan pertolongan baik dari Tian (Tuhan), dewa-dewa, maupun leluhur pada tahun yang akan datang.

Di Amerika Serikat, diselenggarakan pesta rakyat "Thanksgiving Day" yang dirayakan pada hari Kamis kedua bulan November. "Thanksgiving Day" bermula dari tradisi pesta panen masyarakat pertanian yang sudah dirayakan sejak masa kejayaan Yunani dan Romawi. "Thanksgiving' dirayakan sebagai tanda terima kasih pada Tuhan atas keberhasilan panen pada musim itu.

Di Amerika Serikat sejak 1863, "Thanksgiving Day" ditetapkan sebagai Hari Raya Nasional. "Thanksgiving Day" menjadi pesta rakyat yang tidak terkait dengan suatu agama, sehingga segenap warga negara Amerika Serikat merayakannya dengan sepenuh hati.

Seperti halnya "Thanksgiving Day" Imlek juga bukan hari raya keagamaan. Imlek adalah pesta rakyat yang dirayakan secara tradisional oleh etnis Tionghoa dari segala macam agama di seluruh dunia. Dan mereka merayakannya dengan penuh suka cita dan mengucap syukur sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Bukan Hari Raya Imlek

Selamat Tahun Baru Imlek. Itu ucapan yang benar. Selamat Hari Raya Imlek, itu salah kaprah, yang hingga kini masih sering muncul. Imlek, menurut David Kwa, pemerhati budaya Tionghoa, bermakna kalender.

Jadi Selamat Hari Raya Imlek, bisa bermakna Selamat Hari Raya Kalender Tionghoa.

Jangan lupa, leluhur Tionghoa sejak ribuan lalu sudah memiliki sistem penanggalan sendiri. Jauh lebih tua daripada sistem penanggalan Masehi.

Tanggal 3 Februari 2011 adalah hari pertama kalender Tionghoa. Coba perhatikan kalendar yang beredar. Pada 3 Februari itu tahun penanggalan Tionghoa adalah 2562. Angka tahun itu secara tidak langsung menggambarkan usia peradaban bangsa Tionghoa.

Tetapi, soalnya kali ini bukan soal usia penanggalan. Kali ini soal salah kaprah
penyebutan.

Itu yang membuat gundah David Kwa menjelang Tahun Baru Imlek. "Masih terus terjadi salah paham soal Imlek. Banyak yang tidak tahu beda Tahun Baru Imlek dengan Hari Raya Imlek," katanya. Kegundahan David juga menyambar banyak kalangan yang secara sederhana sering disebut orang Tionghoa. Indradi dan Suma Mihardja, misalnya. Mereka mengaku prihatin bukan hanya soal salah paham tentang Imlek itu. Mereka gundah menyaksikan banyak keramaian menjelang Imlek yang menurut mereka bisa mengganggu makna Imlek. Lampion, huruf - huruf Cina dalam ukuran besar, orang-orang berpakaian Tionghoa, ternyata tidak membuat mereka bahagia.

Dalam pandangan kedua orang yang banyak terlibat dalam kampanye anti diskriminasi terhadap warga Tionghoa itu, kemeriahan Imlek bisa jadi mengundang masalah lain.

Masalah salah paham berikutnya.

Keduanya mengingatkan warga Tionghoa betapa praktik diskriminatif dari sisi peraturan memang sudah bisa dikatakan usai. Beberapa aturan hukum yang selama ini menyakitkan warga Tionghoa sudah menghilang. Dari tataran hukum, perlindungan terhadap warga Tionghoa bisa dikatakan sudah semakin kuat.

Bahwa di beberapa tempat di Indonesia warga Tionghoa masih kesulitan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan paspor, itu juga diakui keduanya.

"Saya juga masih menerima pengaduan dan informasi mengenai praktik diskriminasi terhadap warga Tionghoa. Soal KTP dan paspor, misalnya. Tapi khusus soal pengurusan paspor bisa jadi disebabkan permainan biro-biro jasa pengurusan paspor. Petugas imigrasi sekarang sudah tidak mensyaratkan pengurusan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia, Red) dalam pengurusan paspor," kata
Indradi.

Lalu, soal apa yang mengundang keresahan kedua orang itu? Ya, soal kemeriahan menjelang Tahun Baru Imlek itu. Berlebihan. Dan itulah yang kita saksikan hari-hari menjelang pergantian tahun menurut kalender Tionghoa.

Pusat-pusat keramaian mengemas berbagai keramaian khusus bernuansakan Tionghoa, dari mulai penampilan barongsai hingga bagi-bagi hadiah.

Singkat cerita, kemeriahan dan pesta yang dikedepankan. Padahal, kenyataan membuktikan betapa salah satu persoalan besar bangsa ini ialah prasangka. Prasangka bahwa semua warga Tionghoa adalah "binatang ekonomi" yang secara ekonomi jauh lebih baik daripada warga Indonesia lainnya.

Soal ini sudah menjadi bahan perdebatan panjang di negeri ini. Pro dan kontra sudah lama berlangsung. "Kenyataannya tidak semua orang Tionghoa itu makmur," kata Indradi.

Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jakarta itu berulang kali mengingatkan prasangka antar etnis bukan perkara sepele. Persoalan prasangka itu tidak bisa diselesaikan dengan keterlibatan pemerintah semata.

Dalam konteks kebangsaan, semua warga negara harus terlibat mengikis habis prasangka itu. Jika tidak, sila ketiga Pancasila, hanya tinggal slogan.

Bibit perpecahan bangsa bukan tidak mungkin akan muncul jika warga Tionghoa terlalu jor - joran merayakan Imlek. Prasangka yang menyebutkan semua warga Tionghoa adalah kaya dan kekayaannya diperoleh tidak dengan cara yang benar, akan bertemu.

Introspeksi

"Imlek bagi saya, adalah saat yang tepat untuk melakukan introspeksi," Suma menegaskan.

Dari David Kwa, muncul penjelasan yang bikin benderang. Pertama, soal penyebutan Imlek. Kamis 3 Februari ini adalah hari pertama dalam kalender Tionghoa yang menurut David menggunakan pedoman peredaran bulan. Saat-saat menjelang pergantian tahun, para leluhur Tionghoa sering melakukan acara bersih-bersih rumah. Jendela dan pintu harus dibuka. Tradisi lainnya ialah mengecat rumah.

Warga Tionghoa juga dilarang tidur. Dewa Rezeki tidak akan datang ke rumah yang pintunya tertutup rapat dan penghuninya tidur.

Soalnya ternyata tidak berhenti di situ. Di balik tradisi ribuan tahun itu tersimpan ajaran luhur. Soalnya bukan melulu menahan kantuk di malam pergantian tahun. Tradisi itu mengajak warga Tionghoa melakukan introspeksi.

Pada saat yang sama, semua warga mengucapkan syukur atas keberhasilan yang diperoleh pada setahun terakhir. Bagi mereka yang peruntungannya kurang baik ditahun sebelumnya, juga bisa berdoa agar peruntungan di tahun mendatang akan lebih baik lagi. Jangan lupakan shio yang selalu berubah setiap tahunnya. "Kalau shio di tahun sebelumnya tidak membawa keberuntungan, semoga saja di tahun berikutnya peruntungan datang," masih kata David.

Soal yang erat kaitannya dengan Imlek, David dengan santai menjelaskan bahwa makna kata "Gong Xi Fa cai" yang sering muncul di mana - mana dalam dialek Mandarin bermakna selamat menjadi kaya. Istilah yang bernuansa materialistis itu berasal dari Hong Kong yang belakangan populer di Indonesia.

Di masa lalu dan hingga kini, sebagian kecil warga Tionghoa masih menggunakan ucapan "Sin Chun Kiong Hie, Tiam Thiam Siu". Artinya, selamat tahun baru dan
panjang umur.

Soal mengapa istilah Gong Xi Fa cai yang lebih populer bisa jadi diakibatkan banyak faktor. Pertama, ketidakmengertian. Kedua, bisa jadi karena orang sekarang memang ingin terus lebih kaya.

"Yang pasti, mereka yang menjual Imlek dengan berbagai acara yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan makna Imlek, yang pasti akan terus bertambah kaya. Mereka akan menangguk banyak keuntungan dari masyarakat kita, bukan hanya Tionghoa. Sekarang soalnya kembali pada keinginan semua pihak untuk memaknai Imlek. Bukankah setiap tahun baru dalam sistem penanggalan apa pun punya makna spiritual dan filosofi yang baik?" Suma menegaskan.

Jadi, semua uda pada tau kan, diharapkan bagi para members yang ingin mengucapkan selamat Tahun Baru Imlek kepada teman - teman lainnya agar tidak salah mengatakan Selamat Hari Raya Imlek lagi ya, dan bagi yang ortunya belum mengetahui perihal ini agar kita sebagai anak - anak mereka kiranya bisa menjelaskan kepada mereka mengenai kenyataan ini agar kita semua sebagai WNI tidak akan salah kaprah lagi. [Yinnihuaren/Elaine Ye]

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: KISAH

ARTIKEL: BERITA