Mungkin banyak orang yang telah mendengar 'Fase Seratus Hari', terutama generasi tua di daerah pedesaan, yaitu 100 hari setelah anak dilahirkan akan mati. Menurut rumor orang tua di pedesaan, 'Fase Seratus Hari' juga dikenal sebagai 'Fase Selimut.' Fase selimut adalah roh jahat yang sangat ganas, mampu melakukan 18 jenis perubahan, bisa berubah menjadi kelelawar, kucing, tikus dan lain-lain, di malam hari mereka akan membuat orang dewasa tertidur, sehingga orang dewasa tidak bisa bangun, dan kemudian mencekik anak kecil dalam selimut hingga mati.
Kakek sangat panik, dia minta cara untuk menangkalnya. Malam itu juga Pendeta Tao menyuruh kakek mengecor sebuah pedang jahat, kemudian meminjam jaring ikan. Pedang diselipkan di bawah tempat tidur saya, kemudian dengan jaring menutupi seluruh tempat tidur saya, tanpa meninggalkan jejak lubang apapun. Kemudian pendeta Tao menulis beberapa mantra agar kakek menempelkannya di tempat tidur dan semua pintu keluar.
Hari itu, pendeta Tao buta yang tidak pernah keluar rumah itu secara pribadi datang ke rumah saya, meraba-raba jalan beberapa kilometer, tidak mau dibimbing orang. Dia mengatakan kepada keluarga saya bahwa secara umum 'Fase Seratus Hari' bisa dipatahkan, "jangan khawatir, selama hidup, sudah banyak 'Fase Seratus Hari' yang saya tangkal." 'Fase Jahat' yang ditangkalnya ada beberapa, tidak pernah ada masalah. Dia mengatakan bahwa gurunya mengajari cara ini, sangat efektif, menyingkirkan 'Fase Seratus Hari' biasanya tidak masalah, hanya ada satu Fase yang tidak mampu ditangkalnya, yaitu 'Fase Berdarah.' 'Fase Berdarah' adalah jenis yang paling ganas dari fase jahat, sangat langka, dan kebanyakan orang tidak akan menemuinya.
Dia menghibur kakek saya supaya tidak khawatir, dan menemani kakek tidur di rumah saya selama tiga malam. Kakek memanggil semua kerabat, setiap malam mengatur dua orang dewasa bergiliran menjaga, sepanjang malam mereka tidak tidur, minum teh, berputar-putar berjalan di sekitar ruangan, tidak boleh tertidur.
Tiga hari kemudian, pendeta Tao itu pulang, ia pesan kepada orang-orang yang berjaga harus hati-hati dengan cermat mendengarkan gerakan, jika tidak ada gerakan, maka tidak akan ada masalah. Pada malam hari bila berturut-turut mendengar suara kepakan sayap dalam jaring dan bayangan hitam yang melintas, itu berarti 'Fase berdarah,' dan sudah nasib, dia juga tidak dapat berbuat apa-apa.
Bulan pertama dilalui tanpa ada masalah. Keluarga mereka semua lega, merasa tidak akan ada masalah lagi. Tiap malam, kakek tidak pernah menutup mata, selalu ke kamar untuk memeriksa, melihat apakah orang dewasa di sana tertidur, apakah ada gerakan yang abnormal. Meski tidak ada masalah, kakek mengingatkan anggota keluarga agar tetap waspada, dia mengatakan bahwa kita harus dapat melewati seratus hari ini, hanya setelah melewati 100 hari, keselamatan baru benar-benar terjamin.
Benar saja, pada hari ke empat puluh lebih, di bulan kedua, malam itu giliran kakak saya (anak paman saya) jaga malam. Pada jam satu atau dua di tengah malam, ketika ia terserang rasa kantuk, dia berjalan berputar di sekitar ruangan. Dalam keadaan setengah sadar, terdengar suara sayap mengepak dalam jaring. Ia langsung terbangun, berpaling mata dan melihat jaring bergetar sangat kencang, pintu dan jendela tertutup rapat, ruangan tidak ada angin. Dia mendongak ke atas dan melihat bayangan hitam meluncur ke sana ke mari, namun tidak bisa melihat dengan jelas bentuknya. Dia ketakutan dan berteriak hingga orang tua yang tidur di sisinya terbangun, kakek tanpa memakai sepatu langsung berlari ke kamar saya.
Semua orang segera terjaga. Semalaman tidak ada yang berani tidur sampai matahari terbit. Kakek juga ketakutan dan tidak bisa berkata apapun. Pada siang hari, dia pergi ke rumah pendeta Tao buta, menggunakan kereta roda tunggal menjemput pendeta Tao.
Setibanya di rumah saya, wajah Pendeta Tao terus berpaling ke permukaan dinding, dia menolak untuk makan. Melihat kondisi hatinya yang sulit, keluarga saya berusaha menghiburnya. Semua orang tahu bahwa dia telah berusaha sekuat tenaga. Agar dia tidak terlalu sedih, keluarga mengatakan jika terjadi sesuatu itu adalah nasib.
Pendeta buta Tao kemudian membuat banyak sekali tulisan mantra, menutupi semua ruangan, mangatakan kepada keluarga saya agar membakar dupa menyembah leluhur ke makam leluhur. Pada malam hari semua orang berkumpul di dalam rumah, kakek mengundang penduduk desa untuk membantu.
Mereka menghabiskan waktu di kamar bermain poker, ngobrol dan minum teh. Perlahan-lahan suara mereka semakin kecil dan kecil, banyak orang berbaring di meja dan tertidur, dan sisanya juga berusaha menjaga mata tetap terbuka. Sekitar pukul 2 - 3 dini hari, seorang terbangun buang air kecil di pintu depan. Dalam keadaan setengah sadar ia mendengar suara genteng, melihat seekor burung gagak tua hitam bertengger di genteng dan menghilang. Dia segera berlari ke kamar dan melihat seekor burung gagak hitam mengepakkan sayapnya memukul jaring. Tiba-tiba dia terbangun sadar dan berteriak dengan kencang. Seluruh orang di rumah terbangun, mereka mencari di seluruh rumah, dan bahkan atap, balok kamar, tetapi tidak melihat bayangan burung gagak.
Pendeta buta Tao mendesah dan terus menggelengkan kepalanya. Air mata kakek mengalir terus dan cemas, menangis di hadapan leluhur. Ibu juga terlihat sangat sedih, hanya ayah yang terlihat tenang. ayah baru masuk sekolah setelah 1949, berpartisipasi dalam militer selama beberapa tahun, menjadi seorang petugas kecil, dan seorang ateis sejati. Ia sangat antipati terhadap keluarganya yang memuja Buddha, dan juga secara diam-diam mengutuk mereka percaya takhayul. Namun dia sangat takut pada kakek, karena kewibawaan kakek. Pada permukaan dia tidak pernah berani bersuara, selalu menuruti apa yang kakek katakan.
Sekali ini dia melihat kakek seperti itu, dia tidak dapat menahan amarahnya pada ibu, mengatakan bahwa ibu percaya takhyul, mengatakan bahwa tidak ada hal seperti itu dan tak seorang pun pernah melihat 'Fase selimut', membuat keadaan menjadi kacau balau, sehingga dia tidak bisa tidur nyenyak. Ia juga mengatakan mereka yang mengatakan melihatnya, mungkin tertidur penglihatannya kabur, atau mungkin berpikir untuk berbohong, sama sekali tidak ada hal demikian.
Belum juga dia selesai bicara, kakek segera mengayunkan tongkat, memukul kepala dan wajah ayah. Ayah dipukul hingga merangkak di lantai.
Pada saat itu, Tuan Ping muncul secara tiba-tiba… [Susan Sie / Bandar Lampung]