Zhao dilahirkan di Zhuozhou, Provinsi Hebei. Ia adalah keturunan Zhao Ting, pejabat pada akhir Dinasti Tang. Ayahnya, Zhao Hongyin adalah seorang pejabat militer dan ibunya, Nyonya Du, adalah seorang wanita yang bijak. Sejak kecil Zhao telah mempelajari karya-karya klasik, strategi perang dan ilmu bela diri sehingga tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah, brilian, dan pemberani. Setelah karier ayahnya mulai surut, Zhao yang ketika itu berusia 21 tahun memutuskan untuk meninggalkan kediaman keluarganya untuk mengadu nasib di tempat lain. Ia berkelana kemana-mana untuk mencari pekerjaan dalam pemerintahan namun berulang kali ditolak.
Pada akhirnya karena kehabisan uang, ia tinggal di sebuah biara Tao di Xiangyang, Hubei. Kepala biara tempatnya menginap mengenali talentanya, ia menyadari pemuda ini mempunyai prospek cerah, maka ia memberinya uang dan menasehatinya untuk menuju ke Henan, dimana panglima perang Guo Wei sedang merekrut orang-orang berbakat dan mengadakan persiapan perang. Zhao pun mendaftarkan diri sebagai prajurit dan diterima. Sejak itulah kehidupannya mulai menemui titik terang.
Tahun 951, Guo Wei mendirikan Dinasti Zhou (dalam sejarah dikenal dengan Zhou Akhir, 后周) dan memproklamirkan dirinya sebagai Kaisar Zhou Taizu. Namun ia hanya tiga tahun menduduki singasananya. Tahun 954, setelah kematiannya, putra angkatnya, Guo Rong (Chai Rong) menggantikannya sebagai kaisar dengan gelar Kaisar Zhou Shizong. Dibawah Kaisar Shizong, karier Zhao semakin menanjak, ia meraih banyak prestasi dan menjadi jenderal yang paling berkuasa di Dinasti Zhou. Di medan perang ia tampil sebagai jenderal yang disegani kawan maupun lawan.
Dalam suatu pertempuran melawan Huang Fuhui dari Dinasti Tang Selatan, ia mengalami kekalahan. Kemudian ia mendengar ada seorang ahli strategi berbakat bernama Zhao Pu. Ia pun menemui Zhao Pu untuk meminta nasihat dan berhasil memenangkan simpatinya. Dengan strategi Zhao Pu, ia melancarkan serangan kejutan ke perkemahan Huang pada tengah malam lewat jalan pintas di perbukitan. Pasukan Huang yang tidak menduga serangan dadakan itu langsung kocar-kacir. Kemenangan atas Huang Fuhui ini meningkatkan citranya di mata publik dan Kaisar Shizong. Atas jasanya, ia dipromosikan menjadi gubernur militer, jabatan yang menjadi batu loncatan menuju kariernya ke jenjang yang lebih tinggi kelak.
Pada tahun 959, Kaisar Zhou Shizong tiba-tiba wafat karena sakit. Putranya, Guo Zongxun, yang baru berusia tujuh tahun naik tahta sebagai Kaisar Gong dari Zhou. Tidak lama setelahnya datang laporan darurat dari perbatasan yang melaporkan bahwa pasukan Han Utara bersama dengan suku Qidan telah melancarkan serangan ke perbatasan Zhou. Saat itu pihak istana sedang sibuk berpesta pora sementara pasukan penjaga perbatasan sedang mempertaruhkan jiwa raga menahan serbuan musuh.
Menjelang malam ketiga, pasukan Zhao telah berkumpul dan berkemah di Chenqiao, 20 km timur laut dari ibukota Zhou, Kaifeng. Pada tengah malam para prajurit yang kecewa dengan pihak istana memberontak, mereka menyatakan tidak bersedia mempertahankan negara kalau komandan mereka, Zhao Kuangyin tidak dijadikan kaisar. Para perwira dan Zhao Kuangyi (赵匡义), adik Zhao, menghadap ke kemahnya. Mereka memintanya menjadi kaisar. Zhao ragu-ragu menerimanya dan sebelum sempat menjawab, seorang perwira sudah mengenakan jubah kuning (warna yang hanya boleh dipakai kaisar) padanya. Kemudian mereka bersujud di hadapannya dan berseru, "Hidup Yang Mulia!"
Zhao berulang kali menolak dengan lembut, namun ia akhirnya menerima juga keputusan mereka dengan syarat mereka menaati perintahnya dan menuntut kepastian agar setelah masuk ke ibukota nanti, kaisar, keluarga kerajaan, dan para pejabat harus diperlakukan secara manusiawi dan rakyat jangan diganggu, hukuman tegas akan dijatuhkan bagi mereka yang melanggarnya. Pasukan pemberontak itupun memasuki ibukota dengan tertib tanpa mengusik rakyat. Para pejabat istana yang telah membaca situasi memutuskan untuk tunduk pada sang kaisar baru. Demikianlah kudeta itu berlangsung dengan gemilang tanpa meneteskan darah. Zhao Kuangyin dimahkotai sebagai kaisar pertama Dinasti Song dengan gelar Kaisar Song Taizu di Istana Chongyuan.
Ketika naik tahta, Zhao mewarisi segudang masalah yang sulit terpecahkan, yaitu menyatukan Tiongkok yang telah terpecah-belah selama setengah abad pada zaman Lima Dinasti dan Sepuluh Negara. Ia memang berhasil menaklukkan negara-negara di selatan seperti Han Selatan, Tang Selatan, Wuyue, dan Shu Akhir, namun di utara masih ada Han Utara yang kuat dan suku-suku barbar seperti Qidan dan Nuzhen. Ia juga masih harus menangani kerusuhan yang terjadi di wilayahnya sendiri.
Untuk kebijakan dalam negeri, Kaisar Taizu menyusun tata cara dan kebijakan Song untuk pegangan bagi kaisar-kaisar berikutnya dan mereformasi sistem ujian kerajaan. Ia juga mendirikan institusi politik yang memungkinkan kebebasan berpikir dan berserikat sehingga menghasilkan kemajuan ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahannya ekonomi, seni, dan literatur berkembang dengan pesat.
Dinasti Tang runtuh karena kekuasaan kaum militer terlalu besar sehingga mereka saling bertikai satu sama lain dan negara terpecah. Kaisar Taizu menyadari hal ini dan mengadopsi kebijakan-kebijakan yang mengurangi kekuasaan para jenderal dan mengalihkannya pada pemerintah pusat. Ia sadar dirinya pun naik ke tahta melalui kudeta militer, sejarah bisa saja terulang kembali dan bukan tidak mungkin bawahannya merebut kekuasaan darinya. Maka, atas saran Zhao Pu, yang kini telah diangkat menjadi perdana menteri, Kaisar Taizu memutuskan pejabat militer tidak diberi kuasa terlalu besar.
Tahun 961, Taizu mengundang jenderal-jenderalnya dalam sebuah jamuan. Ketika semua sudah mulai mabuk, mulailah ia mengutarakan kerisauannya. Ia berkata dengan berat hati bahwa walaupun telah menikmati kehormatan seperti sekarang ini, ia masih belum bisa tidur dengan nyenyak. Ketika mereka menanyakan alasannya, ia menjawab bahwa bukankah masih banyak orang yang ingin memerintah sebagai kaisar. "Akan tetapi situasi sekarang sudah terjadi, tidak seorang pun akan berani mengadakan kudeta lagi. Mengapa Yang Mulia berkata demikian ?" tanya salah seorang dari mereka. "Tentu bukan kalian yang memberontak, namun, seandainya bawahan kalian dengan paksa mengenakan jubah kerajaan pada kalian seperti yang kalian lakukan terhadap saya dulu, kalian pasti sulit memutuskan." Para jenderal itu sadar bahwa Taizu tidak mempercayai seorangpun dari mereka. Mereka pun bersujud menyatakan kesetiaan penuh mereka.
Melihat apa yang diinginkannya telah tercapai, Taizu memberikan penawaran pada mereka. Dia berkata bahwa bukankah mereka telah mencapai kehormatan dan sukses sehingga mengapa mereka tidak merelakan kekuasaan militer mereka demi kehidupan yang tenang. Ia pun menjanjikan tanah, rumah, wanita, dan harta berlimpah apabila mereka bersedia menyerahkan komando atas pasukan mereka. Keesokan paginya, dalam rapat Taizu menyetujui pengunduran diri mereka dengan upah yang sangat besar. Sejak itu kekuasaan militer, keuangan, eksekutif, dan kehakiman ada di tangan kaisar. Dengan lihai ia telah memanfaatkan kelemahan dasar manusia dan memenangkan para bawahannya. Demikianlah ia telah menghilangkan akar penyebab kudeta militer yang tiada habis-habisnya pada periode Lima Dinasti dan Sepuluh Negara.
Pada tahun 976, Kaisar Taizu sedang dalam perjalanan ke utara untuk ekspedisi penaklukan suku Qidan. Malam harinya ia minum-minum bersama adiknya, Zhao Guangyi, di kemahnya, namun keesokan paginya ia ditemukan sudah tidak bernafas lagi. Walaupun Taizu memiliki empat putra yang masih hidup, namun Zhao Guangyi lah menggantikannya naik tahta sebagai Kaisar Song Taizong (宋太宗). Keputusan ini diambil dengan pertimbangan saat itu putra-putra Taizu masih kecil dan pengalaman-pengalaman terdahulu membuktikan bahwa kaisar bocah rentan dikudeta atau dimanfaatkan orang-orang ambisius sebagai boneka, selain itu Dinasti Song saat itu baru berdiri sehingga masih belum sepenuhnya stabil. Ada sebuah legenda yang mengatakan bahwa Zhao Guangyi lah yang membunuh kakaknya dan membujuk ibunya untuk memilihnya sebagai kaisar berikutnya.
Kaisar Taizu adalah seorang ahli ilmu bela diri, ia menciptakan jurusnya sendiri yang merupakan pengembangan dari kungfu Shaolin, yaitu Chang Quan (长拳, secara harafiah berarti Tinju Panjang) yang juga dikenal dengan nama Taizu Quan (太祖拳). Jurus ini menitikberatkan pada gerakan yang lincah, cepat, dan kuat. Jurus ini menjadi dasar dari wushu modern aliran Chang Quan. Selain itu, Kaisar Taizu juga dianggap sebagai penemu triple-stick. Di kemudian hari, senjata ini dikembangkan oleh maestro kungfu abad XX, Bruce Lee, menjadi double-stick yang penggunaannya lebih efisien dan mudah dibawa-bawa. (*)
http://yinnihuaren.blogspot.com
Email dari: Linda Lim, Surabaya