Ibu dan tante sedang memperbaiki alas sepatu di ruang dalam, saya duduk bermain benda-benda kecil dalam kotak jahit di samping kaki ibu. Tante melihat Tuan Ping terlebih dulu, lalu dia menepuk ibu, memberitahu kedatangan Tuan Ping.
Kemampuan ibu mengenali orang sangat baik, dia langsung mempersilakan Tuan Ping duduk, dan bergegas menyajikan teh untuknya. Ibu kemudian menarik saya, agar bersujud kepadanya, berterima kasih karena telah menyelamatkan saya. Tuan Ping dengan cepat pindah ke samping, duduk di sudut, dan mengatakan jangan repot-repot.
Saat itu ayah bekerja mengurus bisnis kecil di kota yang berjarak 8 mil dari rumah, dan pulang pada malam hari.
Tuan Ping hanya kebetulan lewat, sambil datang melihat saya. Dia menatap saya lama, lalu tersenyum berdiri dan berkata mau pergi. Ibu bersikeras menahannya agar tidak pergi, mengatakan bahwa hujan sangat deras, harus menginap dan makan malam bersama, juga mesti menunggu ayah pulang bila tidak ayah akan memarahi kami.
Kali ini Tuan Ping tidak menolak, dia kemudian duduk di sudut ruang. Saya selalu ingin tahu tentangnya, merasa dia sangat ramah, seperti famili yang selama bertahun-tahun tidak bertemu, dan saya ingin bermain dengannya, tetapi saya tidak berani mendekat.
3. Menggali Naga Tanah
Malam itu ayah pulang. Setelah mengetahui kedatangan Tuan Ping, dia menepuk dirinya seraya mengatakan, bila tadi tahu Tuan Ping datang, dia akan membeli beberapa makanan. Tuan Ping mengatakan tidak usah sungkan, dia sudah berkelana ke mana-mana, asalkan bisa makan sudah sangat berterima kasih.
Ayah merasa tidak boleh melewatkan kesempatan ini, ia lantas diam-diam pergi ke kolam dekat desa mengambil beberapa keong sawah, ibu menggorengnya dan meminjam beberapa butir telur, serta arak untuk menjamu Tuan Ping. Pada masa itu, bisa makan daging dan telur tidaklah mudah. Tuan Ping melihat makan malam yang begitu mewah, agak kewalahan.
Setelah ayah berulang-ulang mempersilahkan makan, Tuan Ping baru mengeluarkan mangkuk nasinya sendiri dan menolak makan di atas meja. Ayah minta Tuan Ping duduk bersama makan di meja, kalau tidak seluruh keluarga tidak makan. Hal ini seperti jalan buntu, melihat makanan sudah dingin, perut saya lapar keroncongan, air liur dari tadi sudah menetes terus, saya lantas mengambil sebutir telur dan melahapnya. Ayah melihat saya lantas memukul hingga saya menangis berguling-guling di lantai.
Tuan Ping dengan cepat mendekati dan menggendong saya. Ia mengusap kepala saya, sambil berkata tidak boleh memukul anak kecil. Lalu menggendong saya duduk di samping meja makan. Ayah jadi lega melihat Tuan Ping mau duduk, kemudian memanggil ibu untuk makan bersama. Tuan Ping tidak makan keong, hanya makan nasi dan sayur, dengan begitu saya jadi lebih bisa menikmati makanan yang lezat.
Atas permintaan ayah berulang kali, Tuan Ping akhirnya tinggal di keluarga saya selama seminggu lebih. Ayah seorang yang paling mampu dan cukup terkenal di daerah kami. Berwatak pemarah, bangga dan sombong dengan pengetahuannya, memandang rendah pada orang-orang biasa. Tapi terhadap Tuan Ping, dia luar biasa hormat dan tidak mengabaikannya. Ayah sangat tertarik dengan seni bela diri, Taichi, akupunktur, dan terus mempelajarinya.
Selama itu ayah jadi sering tidak ke pabrik, di rumah menemani Tuan Ping ngobrol, meminta saran kepadanya tentang masalah ini. Pada waktu itu saya tidak memahami hal-hal ini, tetapi sudah tidak takut lagi dengan Tuan Ping, dan suka merangkak mengelilingi kaki Tuan Ping berulang-ulang, terkadang menggigitnya atau memukulinya. Melihat hal itu ayah akan membelalakkan mata, membentak saya. Tuan Ping dengan cepat menggendong saya, duduk di pangkuannya, tersenyum, dia katakan kepada ayah jangan menakuti saya.
Saya ingat suatu hari setelah badai berhenti, tanah basah. Tuan Ping mengajak saya ikut menangkap naga tanah. Saya tidak tahu apa itu naga tanah, tapi waktu itu saya hanya berpikir kalau bisa pergi keluar dan bermain sudah sangat senang.
Saya menarik Tuan Ping, berlari mengikutinya dengan tertatih-tatih, merasa berlari semakin cepat, seperti terbang, tapi juga tidak merasa lelah. Tuan Ping membawa saya ke banyak tempat yang tidak tahu namanya. Sebagian besar pegunungan, sangat indah, juga melihat pohon-pohon pinus tinggi dan burung raksasa putih. Tempat ini sungguh ajaib, saya belum pernah mengunjunginya. Bertahun-tahun kemudian, berdasarkan kenangan kabur tahun itu, saya mengelilingi desa sekitar radius 10 km, tetapi tidak bisa menemukan tempat itu.
Setelah sampai di satu tempat Tuan Ping berhenti, kemudian mencari-cari sesuatu di tanah, dia mengatakan kepada saya sedang mencari goa naga. Tuan Ping juga mengajarkan saya untuk mencari goa naga, setelah menemukannya Tuan Ping membuka lapisan atas tanah dengan tangan, permukaan muncul lubang sebesar ibu jari, dari lubang itu keluar air. Kemudian Tuan Ping mengeluarkan botol keramik dari kantong kain dibadannya. Mulut botol diarahkan ke lubang itu dan kemudian seperti membaca sesuatu. Segera muncul seekor belut tanah dari bawah tanah, berputar-putar masuk ke botol. Baru kemudian saya tahu, rupanya yang dimaksud naga tanah adalah belut.
Sawah di belakang desa kami, ketika panen musim semi, di mana-mana penuh dengan belut. Saat itu kami akan membawa keranjang menangkap belut, tertangkap setengah keranjang, bisa jadi santapan mewah. Saya paling suka makan belut kukus, bila terpikir air liur saya pun akan menetes. Tetapi saya tidak tahu pada saat ini juga dapat menangkap belut di tanah kering, saya selalu berpikir bahwa belut hanya ada di sawah.
Belut ini tidak sama dengan belut yang pernah saya lihat. Di samping mulutnya berjenggot panjang, dan ada ekor seperti ikan koki. Saat itu saya tidak berpikir banyak, hanya tahu hal ini menyenangkan. Saya juga membantu Tuan Ping mencari naga tanah. Saat itu saya benar-benar bisa menemukan lubang naga, hanya berdasarkan perasaan. Saat saya melihat di suatu tempat, bisa merasakan ini lubang naga, lantas memanggil Tuan Ping. Tuan Ping menggunakan tangan mengorek, dia memuji saya memiliki mata bijak. Tapi kini saya tidak bisa menemukan lagi, entah mengapa perasaan seperti itu lenyap.
Lubang naga tanah ada yang sangat dalam. Ada lubang berdiameter sebesar pergelangan tangan, tapi naganya tidak mau keluar. Saat itu Tuan Ping mengelilingi lubang sambil menggambar beberapa grafis aneh, membaca sejumlah mantra, kemudian mengambil pisau dari kantongnya, dengan kuat menggali ke bawah, menggali sampai dalam, air di bawah terus mengalir ke atas, terkadang seperti air mancur. Akhirnya, muncul belut moa yang sangat panjang, tubuhnya berwarna merah, menggeliat di dalam air.
Tuan Ping mengambil jerami merah dari bajunya, kemudian diletakkan dalam air, belut itu sudah tidak menggeliat lagi, dengan patuh berenang ke tepi rumput, Tuan Ping kemudian memasukkannya ke dalam botol besar serta disegel.
Sepanjang siang kami sibuk menangkap belut, sampai malam baru pulang untuk makan, dari jauh saya bisa melihat ibu sedang berdiri mencari kami di pinggir desa.
Setelah kembali ke rumah, saya terus berpikir bisa makan daging belut, tapi terus tidak dapat menikmatinya. Saya segan untuk bertanya, sampai dua hari kemudian, Tuan Ping akan meninggalkan rumah kami. Ketika itu ayah teringat pesan mendiang kakek, ia segera mengambil pusaka antik keluarga yang dibungkus rapi, dan meminta Tuan Ping menerimanya. Tuan Ping dengan tegas menolak. Ayah bersikukuh dengan mengatakan semua itu adalah keinginan terakhir kakek, jika Tuan Ping tidak menerima, dia tidak bisa bertanggung jawab kepada kakek. Akhirnya tidak ada jalan lain Tuan Ping mengambil sepotong Mantra Pelindung Tubuh dari benda tersebut, sedangkan yang lain dia tidak mau menerima.
Menurut informasi sewaktu kakek masih kecil, Mantra Pelindung Tubuh pernah dipakainya, ayah juga pernah memakai, tapi sekarang tidak. Tidak tahu dari generasi mana benda ini diturunkan. Mantra Pelindung Tubuh adalah sebuah kunci yang dibuat dari besi seribu tahun. Menurut ayah, benda itu digali dari makam tua. Di sana ada banyak peti mati yang dipaku dengan paku besi, dalam jangka waktu lama, semua paku dan peti kayu akan membusuk dan hilang.
Tapi ada beberapa paku tidak busuk, hanya berubah jadi hitam. Leluhur saya mengumpulkan besi peti mati yang hitam itu, untuk dicor menjadi sebuah kunci dan digantung di leher.
Kunci ini warnanya hitam, tidak tahu usianya sudah berapa lama, dan tidak pernah berkarat. Tuan Ping mengatakan bahwa kunci pelindung membawa dampak yang sangat buruk. Tuan Ping hanya mengambil kunci tersebut. Namun, barang berharga lain, dia tidak mau. Ayah tidak bisa berbuat apa-apa, mengatakan jika sekarang Tuan Ping menolak mengambilnya, maka dia menerima kuasa untuk menyimpannya untuk Tuan Ping, dan setiap saat dapat diambil.
Belakangan, saya bertanya kepada Tuan Ping belut yang dulu ditangkap bagaimana akhirnya. Tuan Ping tertawa dan mengatakan bahwa itu bukan belut tanah, tapi naga liar, naga nyata! Saya tertegun, seekor naga dalam pikiran saya adalah kepala bertanduk, sangat besar dan dapat naik ke langit, membalik awan mendatangkan hujan, tempat yang dicapainya muncul angin topan, gemuruh tiada henti-hentinya, bagaimana bisa seperti belut kecil ini?
Tuan Ping berkata sambil tersenyum, naga ini bukanlah kehidupan ruang dimensi manusia ini, pada masa kuno, ia dapat keluar masuk ke ruang dimensi umat manusia ini. Tapi setelah ruang dimensi manusia sudah tidak murni dan tercemar, maka naga ini tidak bisa masuk lagi. Bila ia masuk, akan jatuh dan segera mati membusuk.
Tuan Ping mengatakan, jiwa kehidupan dalam siklus reinkarnasi di alam semesta, harus memiliki sebuah reinkarnasi yang mempertahankan jiwa kehidupannya. Jika reinkarnasi putus, jiwa kehidupan itu akan berakhir. Seluruh alam semesta juga bereinkarnasi, Triloka berada pada tingkat terendah dan manusia adalah pusat dari Triloka, maka manusia bereinkarnasi pada tingkat terendah dari alam semesta. Banyak hal, mereka harus memiliki akar di dunia manusia, kalau tidak mereka tidak dapat bereinkarnasi, ia akan mati. Seperti pohon, jika tidak ada akar, maka tidak dapat menyelesaikan siklus nutrisi air, akan layu dan mati.
Belut ini sebenarnya 'refleksi roh' dari naga, yaitu perpadanan dari naga dalam ruang dimensi ini, sehingga membentuk daging fisik di dunia manusia dan memiliki roh. [Susan Sie / Bandar Lampung]