Masalahnya untuk keturunan generasi kedua, jadi sdr sepupu yang sekakek atau senenek, pendapat jadi bervariasi. Tapi kebanyakan orang untuk mencegah risiko yang tak diinginkan, lebih cenderung menganjurkan jangan.
Dalam milis budaya tionghoa ini pernah dibahas bahwa makin jauh hubungan darah kedua suami-isteri pengaruhnya jelas makin kecil, tapi dari mana tahunya?
Orang Tionghoa percaya pengaruh laki-laki lebih kuat, maka sne-lah yang dipakai sebagai patokan. Yang snenya sama dilarang secara adat. Tidak ada hukumnya. Di Republik Rakyat Tiongkok sebelum reformasi [kalau kondisi sekarang saya kurang tahu] , saudara generasi kedua , yaitu yang sekakek atau senenek dilarang menikah. Tidak perduli snenya sama atau tidak.
Jadi pengaruh laki-laki dan perempuan dianggap sama. Secara tradisi, memang juga tak tepat, misalnya sesama sne Tan. Apakah semarga masih ada hubungan darah? Belum tentu, sne Tan itu asalah usulnya banyak, bisa ada bisa tidak ada hubungan darah.
Sne Ma sudah saya bahas, ada orang Han asli ada orang Islam dari luar negeri yang beberapa ratus tahun lalu masuk ke Tiongkok mengadopsi nama Tionghoa menjadi sne Ma. Ini memang masih mudah, orang Han non Muslim, sedang orang dari luar itu adalah Muslim, jadi tak ada hubungan darah.
Karena penduduk Tionghoa Indonesia kebanyakan datang dari daerah sama, yaitu propinsi Fujian, Guangdong dan Hainan, maka penelusuran ada hubungan darah atau tidak, menjadi agak rumit tapi penting. Walaupun ada, kalau sudah jauh pengaruhnya kecil, terserah yang bersangkutan . Berani mengambil risiko atau tidak? Saya tidak tahu, apa dengan penelitian DNA masih bisa dibuktikan tidak? Kalau bisa akan lebih aman, karena ada bukti ilmiah. Jadi masalahnya adalah masalah genetik bukan masalah budaya. Salam, tolong komentar dari para ahli biologi. [Liang Li]
http://yinnihuaren.blogspot.com
Email dari: Lim Liang Hwat, Jakarta