Adat upacara kematian suku Tionghoa dilatarbelakangi oleh kepercayaan mereka.
Mereka mempercayai bahwa dalam relasi seseorang dengan Tuhan atau kekuatan-kekuatan lain yang mengatur kehidupan baik langsung maupun tidak langsung, berlaku hal-hal sebagai berikut:
* Adanya reinkarnasi bagi semua manusia yang telah meninggal (cut sie)
* Adanya hukum karma bagi semua perbuatan manusia, antara lain tidak mendapat keturunan (ko kut)
* Leluhur yang telah meninggal (arwah leluhur) pada waktu-waktu tertentu dapat diminta datang untuk dijamu (Ceng beng)
* Menghormati para leluhur dan orang pandai (tua pe kong)
* Kutukan para leluhur, melalui kuburan dan batu nisan yang dirusak (bompay)
* Apa yang dilakukan semasa hidup (di dunia) juga akan dialami di alam akhirat. Kehidupan sesudah mati akan berlaku sama seperti kehidupan di dunia ini namun dalam kualitas yang lebih baik.
UPACARA-UPACARA YANG DILAKSANAKAN DALAM KEMATIAN
Upacara kematian terdiri atas empat tahap yaitu sebelum masuk peti, upacara masuk peti dan penutupan peti dan upacara pemakaman.
A. Belum masuk peti
Semenjak terjadinya kematian, anak-cucu sudah harus membakar kertas perak (uang di akhirat) merupakan lambang biaya perjalanan ke akhirat yang dilakukan sambil mendoakan yang meninggal.
Mayat dimandikan dan dibersihkan, lalu diberi pakaian tujuh lapis. Lapisan pertama adalah pakaian putih sewaktu almarhum (almarhumah) menikah. Selanjutnya pakaian yang lain sebanyak enam lapis.
Sesudah dibaringkan; kedua mata, lubang hidung, mulut, telinga, diberi mutiara sebagai lambang penerangan untuk berjalan ke alam lain.
Di sisi kiri dan kanan diisi dengan pakaian yang meninggal. Sepatu yang dipakai harus dari kain. Apabila yang meninggal pakai kacamata maka kedua kaca harus dipecah yang melambangkan bahwa dia telah berada di alam lain.
B. Upacara masuk peti dan penutupan peti
Seluruh keluarga harus menggunakan pakaian tertentu. Anak laki-laki harus memakai pakaian dari blacu yang dibalik dan diberi karung goni. Kepala diikat dengan sehelai kain blacu yang diberi potongan goni. Demikian pula pakaian yang dipakai oleh anak perempuan namun ditambah dengan kekojong yang berbentuk kerucut untuk menutupi kepala. Cucu hanya memakai blacu, sedangkan keturunan ke empat memakai pakaian berwarna biru. Keturunan ke lima dan seterusnya memakai pakaian merah sebagai tanda sudah boleh lepas dari berkabung.
Mayat harus diangkat oleh anak-anak lelaki almarhum. Sementara itu anak perempuan, cucu dan seterusnya harus terus menangis dan membakar kertas perak, di bawah peti mati. Mereka harus memperlihatkan rasa duka cita yang amat dalam sebagai tanda bakti (uhaouw). Bila kurang banyak (tidak ada) yang meratap, maka dapat menggaji seseorang untuk meratapi dengan bersuara, khususnya pada saat tiba waktunya untuk memanggil makan siang dan makan malam.
Sesudah masuk peti, ada upacara penutupan peti yang dipimpin oleh hweeshio (cayma). Bagi yang beragama Budha dipimpin oleh Biksu (Biksuni), sedangkan penganut Konfusius melakukan upacara Liam keng. Upacara ini cukup lama, dilaksanakan di sekeliling peti mati dengan satu syarat bahwa air mata peserta pada upacara penutupan peti tidak boleh mengenai mayat. Dalam upacara ini juga dilakukan pemecahan sebuah kaca (cermin) yang kemudian dimasukkan ke dalam peti mati. Menurut kepercayaan mereka, pada hari ke tujuh almarhum bangun dan akan melihat kaca sehingga menyadarkan dia bahwa dirinya sudah meninggal.
Bagi anak cucu yang berada (kaya), mulai menyiapkan rumah-rumahan yang diisi dengan segala perabotan rumah tangga yang dipakai semasa hidup almarhum. Semuanya harus dibuat dari kertas. Bahkan diperbolehkan diisi secara berlebih-lebihan, termasuk adanya para pembantu rumah tangga. Semua perlengkapan ini dapat dibeli pada toko tertentu.
Setiap tamu-tamu yang datang harus di sungkem (di soja) oleh anak-anaknya, khusus anak laki-laki.
Di atas meja kecil yang terletak di depan peti mati, selalu disediakan makanan yang menjadi kesukaan semasa almarhum masih hidup.
Upacara ini berlangsung berhari-hari. Paling cepat 3 (4) hari. Makin lama biasanya makin baik. Dilihat juga hari baik untuk pemakaman.
Selama peti mati masih di dalam rumah, harus ada sepasang lampion putih yang selalu menyala di depan rumah. Hal ini menandakan bahwa ada orang yang meninggal di rumah tersebut.
C. Upacara pemakaman
Menjelang peti akan diangkat, diadakan penghormatan terakhir. Dengan dipimpin oleh hwee shio (cayma), kembali mereka melakukan upacara penghormatan.
Sesudah menyembah (soja) dan berlutut (kui), mereka harus mengitari peti mati beberapa kali dengan jalan jongkok sambil terus menangis; mengikuti hwee shio yang mendoakan arwah almarhum.
Untuk orang kaya, diadakan meja persembahan yang memanjang, 2 sampai 5 meter. Di atas meja disediakan macam-macam jenis makanan dan buah-buahan. Pada bagian depan meja diletakkan kepala babi dan di depan meja berikutnya kepala kambing. Makanan yang harus ada pada setiap upacara kematian adalah "sam seng", yang terdiri dari lapisan daging dan minyak babi (Samcan), seekor ayam yang sudah dikuliti, darah babi, telur bebek. Semuanya direbus dan diletakkan dalam sebuah piring lonjong besar.
Putra tertua memegang photo almarhum dan sebatang bambu yang diberi sepotong kertas putih yang bertuliskan huruf China, biasa disebut "Hoe". Ia harus berjalan dekat peti mati, diikuti oleh saudara-saudaranya yang lain. Begitu peti mati diangkat, sebuah semangka dibanting hingga pecah sebagai tanda bahwa kehidupan almarhum di dunia ini sudah selesai.
Dalam perjalanan menuju tempat pemakaman, di setiap persimpangan, semua anak harus berlutut menghadap orang-orang yang mengantar jenasah. Demikian pula setelah selesai penguburan.
Setibanya di pemakaman, kembali diadakan upacara penguburan. Memohon kepada dewa bumi (toa pe kong) agar mau menerima jenasah dan arwah almarhum, sambil membakar uang akhirat.
Semua anak–cucu tidak diperkenankan meninggalkan kuburan sebelum semuanya selesai, berarti peti sudah ditutup dengan tanah dalam bentuk gundukan. Di atas gundukan diberi uang kertas perak yang ditindih dengan batu kecil. Masing-masing dari mereka harus mengambil sekepal (segenggam) tanah kuburan dan menyimpannya di ujung kekojong.
Setibanya di rumah, mereka harus membasuh muka dengan air kembang. Sekedar untuk melupakan wajah almarhum.
D. Upacara sesudah pemakaman
Semenjak ada yang meninggal sampai saat tertentu, semua keluarga harus memakai pakaian dan tanda berkabung terbuat dari sepotong blacu yang dilikatkan di lengan atas kiri. Tidak boleh memakai pakaian berwarna ceria, seperti: merah, kuning, coklat, oranye.
Waktu perkabungan berlainan lamanya, tergantung siapa yang meninggal,
* Untuk kedua orangtua, terutama ayah dilakukan selama 2 tahun.
* Untuk nenek dan kakek dilakukan selama 1 tahun.
* Untuk saudara dilakukan selama 3 atau 6 bulan.
Di rumah disediakan meja pemujaan, rumah-rumahan dan tempat tidur almarhum. Setiap hari harus dilayani makannya seperti semasa almarhum masih hidup.
Upacara sesudah pemakaman biasanya terdiri dari :
* Meniga hari (3 hari sesudah meninggal) Sesudah 3 hari meninggal seluruh keluarga melakukan upacara penghomatan dan peringatan di tempat jenasah berada (pergi ke kuburan almarhum). Mereka membawa makanan, buah-buahan, dupa, lilin, uang akhirat. Dengan memakai pakaian berkabung/blacu mereka melakukan upacara penghormatan (soja dan kui). Tak lupa mereka juga menangis dan meratap sambil membakar uang akhirat. Pulang ke rumah, kembali mencuci muka dengan air kembang.
* Menujuh hari (7 hari sesudah meninggal) Seperti halnya upacara meniga hari, seluruh keluarga melakukan upacara penghomatan dan peringatan di tempat jenasah berada (kembali ke kuburan).
Mereka membawa rumah-rumahan, makanan dan buah-buahan serta uang akhirat. Lilin dan dupa (hio) dinyalakan. Seluruh rumah-rumahan dan sisa harta yang perlu dibakar; dibakar sambil melakukan upacara mengelilingi api pembakaran. Sesudah selesai, tanah sekepal (segenggam) diambil, diserakkan ke atasnya.
* 40 hari sesudah meninggal
Pada hari ke 40 ini kembali anak – cucu dan keluarga melakukan upacara penghormatan di tempat jenasah berada (kuburan). Semua baju duka dari blacu dan karung goni dibuka dan diganti baju biasa. Mereka masih dalam keadaan berkabung, namun telah rela melepaskan arwah si almarhum ke alam akhirat. Sebagai tanda tetap berkabung, semua anak cucu memakai tanda di lengan kiri atas; berupa sepotong kain blacu dan goni.
* Tiap-tiap tahun memperingati hari kematian. Satu tahun dan tahun-tahun berikutnya, akan selalu diperingati oleh anak cucunya dengan melakukan "soja dan kui" sebagai tanda berbakti dan menghormati. Peringatan tahunan ini berupa upacara persembahan. Bagi keluarga yang berada, di atas meja persembahan diletakkan berbagai macam makanan, buah-buahan, minuman, antara lain teh dan kopi, manisan minimum 3 macam, rokok, sirih sekapur, sedangkan makanan yang paling utama adalah "samseng" 2 pasang, lilin merah sepasang dan hio. Senja hari sebelum upacara, harus dinyalakan lilin merah
berpasang-pasang tergantung pada jumlah orang (leluhur) yang akan diundang. Maksud dari upacara ini adalah meminta kepada dewa bumi (toa pe kong) untuk membukakan jalan bagi para arwah yaitu dengan cara membakar uang akhirat (kertas perak dan kertas emas).
Demikian tradisi pemakanan etnis Tionghoa dan semoga berguna untuk diketahui. [Suzanna Laow / Jakarta / Tionghoanews]