BUDAYA | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Sabtu, 19 Maret 2011

TRADISI TIONGHOA MEMBAKAR GINSWA

Banyak cara yang dilakukan orang Tionghoa untuk berbakti dan membayar "utang" selama hidupnya kepada orangtua. Salah satunya dengan membakar gin swa atau rumah-rumahan roh. Lay Tiet Cin yang tinggal di Cirebon adalah salah seorang dari sedikit perajin gin swa yang tersisa.

Tak berbeda dengan umumnya kondisi di kota-kota lain di Tanah Air, di Kota Cirebon, Jawa Barat, pun tradisi membakar gin swa mulai ditinggalkan sebagian masyarakat Tionghoa. Padahal, upacara itu menyimpan makna filosofi, yang menurut Lay Tiet Cin amat dalam, yakni ujud penghormatan terakhir seorang anak kepada orangtua yang telah meninggal.

Gin swa yang dibakar umumnya berbentuk rumah-rumahan lengkap dengan pernak-pernik perabot rumah tangganya. Makna dari gin swa adalah si anak menyediakan tempat tinggal yang layak untuk ditempati arwah orangtuanya di surga. "Membakar gin swa merupakan bagian dari kepercayaan dan tradisi orang Tionghoa, tetapi sudah banyak orang yang meninggalkannya," ujar Lay Tiet Cin.

Umumnya, pembakaran gin swa dilakukan paling cepat seminggu atau paling lambat 49 hari setelah orangtuanya meninggal. Namun, ada pula sebagian masyarakat yang membakar gin swa satu atau tiga tahun setelah orangtua meninggal. Menurut tradisi, rumah-rumahan roh ini harus dibakar sehari sebelum jenazah orangtua dikremasikan atau dikuburkan.

"Biasanya gin swa hanya dibakar sekali saja. Tetapi, pada zaman dulu ada keluarga yang setiap 25 tahun sekali membakar gin swa untuk para leluhurnya," kata lelaki yang juga memiliki nama Akiat Priyono Pranoto ini.

Akiat yang lahir di Cirebon pada Desember 1943 itu mengaku prihatin dengan semakin banyaknya orang Tionghoa yang meninggalkan tradisi ini. Mereka yang umumnya tetap mempertahankan tradisi membakar gin swa hanyalah generasi tua (berusia lebih dari 50 tahun). Sedangkan generasi mudanya sudah sangat jarang melakukannya.

Kondisi ini, seingat Akiat, tak seperti 15-30 tahun lalu saat masih banyak orang Tionghoa yang tetap menjalankan tradisi nenek
moyangnya, terutama warga Tionghoa yang lahir di China dan merantau ke Indonesia.

Banyak faktor yang membuat orang Tionghoa tak lagi membakar gin swa. Agar tradisi ini tak hilang, Akiat harus rajin mengunjungi
wihara-wihara yang ada di Cirebon, Tegal, dan Pekalongan. Di sini ia memberi informasi mengenai tradisi Tionghoa itu kepada kaum muda.

"Selain karena generasi tua yang semakin berkurang, padamasa Orde Baru orang Tionghoa yang mau membakar gin swa harus memperoleh izin hajatan dari pihak berwajib, seperti lurah. Akibatnya, sebagian orang (Tionghoa) merasa repot untuk melakukan tradisi ini," tuturnya.

Setelah Orde Baru berlalu, keengganan orang muda membakar gin swa berlanjut. Ini bukan karena mereka tak punya uang, tetapi lebih karena tak mau repot melaksanakan tradisi itu. "Orang-orang muda itu terlalu sibuk. Membakar gin swa memang
sebaiknya sesuai hitungan hari baik. Ini sering tak sesuai dengan kesibukan mereka," ujarnya.

Diturunkan

Keterlibatan Lay Tiet Cin sebagai perajin gin swa berawal dari keluarga. Ayahnya adalah perajin gin swa di Kota Cirebon sejak tahun
1940-an. Bahkan, cerita Akiat, sejak sang ayah belum merantau ke Indonesia dan masih berada di China, dia telah menjadi perajin
perlengkapan sembahyang.

Pertama kali belajar membuat gin swa, Akiat hanya mendapat tugas melapisi rangka rumah-rumahan atau kapal-kapalan yang telah dibuat ayahnya dengan kertas warna-warni. Baru pada tahun 1969 secara mandiri Akiat mulai serius menekuni bisnis keluarganya itu.

Seiring berjalannya waktu, dia semakin lancar merangkai kayu-kayu bambu untuk dijadikan rangka rumah-rumahan roh yang tingginya bisa mencapai 2 meter. Tak terasa, 40 tahun lebih Akiat telah memenuhi permintaan gin swa yang dipesan warga Tionghoa di Cirebon, Jakarta, Bandung, Tegal, Pekalongan, hingga kota-kota kecil lain di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Keahlian Akiat membuat gin swa dipelajarinya dari sang ayah yang datang ke Cirebon dari China sekitar 70 tahun lalu. Untuk membuat gin swa tak ada pendidikan khusus atau sekolahyang mengajarkannya. Kepiawaian seseorang membuat Gin swa umumnya diturunkan lewat keluarga dan pengalaman.

"Setahu saya tak ada orang yang belajar khusus membuat gin swa. Kebisaan ini berlangsung turun-menurun, sambung-menyambung, kepada anak-cucu. Ayah menurunkannya kepada saya, dan tugas saya menurunkan lagi kepada anak saya," kata Akiat yang mewariskan kemahirannya itu kepada anak bungsunya, Sukaewan Pranoto yang biasa dipanggil A Cin.

Meski harus melewati masa sulit, Akiat teguh meneruskan tradisi ini. Alasannya, membuat gin swa bagi dia adalah "kewajiban" demi
regenerasi dan pelestarian "secuil" tradisi etnis Tionghoa.

Jika tak ada yang mempelajari atau meneruskan tradisi membakar gin swa, kebiasaan ini akan punah. Sekarang saja jumlah pembuat gin swa di Pulau Jawa bisa dihitung dengan jari. Menjadi perajin gin swapun tak bisa dipaksakan. Akiat contohnya, dari sembilan anaknya, hanya A Cin (34), lulusan STM Pemuda, Cirebon, yang mampu dan berminat.

Permintaan pelanggan

Kemajuan zaman menuntut Akiat harus pandai menyiasati pesanan pelanggan yang beragam, bahkan terkadang dianggapnya "aneh". Dulu bentuk gin swa relatif sederhana dan hanya mengikuti arsitektur rumah China. Sekarang bentuk rumahnya harus bisa disesuaikan dengan permintaan pelanggan.

Akiat bercerita, tak jarang keluarga meminta agar rumah-rumahan arwah yang dibuatkan itu menyerupai tempat tinggal orangtuanya yang telah meninggal. Tujuannya, dalam persepsi keluarga, arwah orangtua mereka dapat mengenali gin swa yang dikirim anak-anaknya dan bisa merasa betah.

"Model rumah-rumahan gin swa semakin bebas, tetapi membuat gin swa seperti itu biasanya lebih sulit dan rumit. Perajin harus bisa
membuat rumah-rumahan model Spanyol, misalnya. Ini susah, kami harus belajar lagi," kata Akiat.

Gin swa yang proses pembuatannya memakan waktu sekitar dua minggu itu dihargai antara Rp 2,5 juta dan Rp 5 juta. Harga itu tergantung dari tipe, ukuran, dan tingkat kesulitan pembuatannya, termasuk perlengkapannya, seperti pakaian, sandal dan sepatu, tandu, serta perahu.

Bahkan-lagi-lagi akibat kemajuan zaman-replika benda-benda duniawi, seperti radio, televisi, kompor gas, telepon seluler, dan
pesawat terbang, pun ikut "dikirim" untuk arwah orangtua. "Dulu, yang dikirim itu perahu layar, tapi sekarang pelanggan
minta dibuatkan becak atau pesawat terbang. Kapal atau pesawat terbang itu fungsinya sebagai kendaraan yang bisa digunakan arwah orangtua untuk berjalan-jalan di surga," ujar Akiat. (*v*)

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: KISAH

ARTIKEL: BERITA