Menurut catatan buku sejarah, Dinasti Xià adalah negara yang didirikan oleh putra dari Yǔ yaitu Qǐ. Yǔ mewariskan singgasana kepada anaknya Qǐ, yang menganti cara terdahulu, Chánràngzhìdù (mewariskan singgasana kepada orang bijaksana atau yang berkemampuan - Bahasa Inggris en:Elective Law) menjadi Shìxízhì (mewariskan singgasana dari ayah kepada anak atau kepada orang yang mempunyai hubungan darah atau keluarga dekat. Dinasti Xià secara keseluruhan diwariskan sebanyak 13 generasi, 16 raja (atau 14 generasi, 17 raja, tergantung perbedaan pendapat tentang Yǔ dianggap sebagai raja Dinasti Xià atau pemimpin gabungan suku), sekitar 400 tahun, yang kemudian dimusnahkan oleh Dinasti Shang.
Menurut cataran literatur kuno Cina, sebelum berdirinya Dinasti Xià, sering terjadi perang untuk memperebutkan kekuasaan sebagai pemimpin dari gabungan suku antara suku Xià dengan suku-suku di sekitarnya. Suku Xià mulai berkembang sekitar zaman Kaisar Zhuanxu pada zaman legenda Cina kuno. Banyak catatan literatur Cina kuno mencatat keberadaan suku Xià pada masa Kaisar Zhuānxù. Di antaranya Shiji, Xiàběnjì dan Dàdàilǐjì Dìxì mengatakan Yǔ adalah cucu dari Zhuānxù, tetapi ada catatan literatur lain yang mengatakan Yǔ adalah cucu generasi ke-5 dari Zhuānxù. Dari catatan-catatan literatur tersebut menunjukkan bahwa suku Xià kemungkinan besar adalah salah satu dari keturunan Zhuānxù.
***
Dalam catatan literatur Cina kuno, Gǔn adalah salah satu tokoh suku Xià yang paling awal terdapat catatannya. Dalam Guóyǔ Zhōuyǔ diceritakan bahwa Gǔn sebagai pemimpin dari suku Xià dianugerahkan daerah Chóng, dan digelar sebagai Chóngbó Gǔn. Kemudian Yǔ mengantikan Gǔn sebagai Chóngbó Yǔ. Ini membuktikan bahwa suku Xià awalnya aktif di sekitar daerah Chóng. Pada waktu itu Huánghé (Sungai Kuning) meluap.
Untuk menghadapi banjir, banyak suku membentuk gabungan suku untuk menghadapi banjir, dan Gǔn dipilih oleh Sìyuè (Empat Prefektur) menjadi pemimpin dari pekerjaan mengendalikan banjir tersebut. Gǔn mengendalikan banjir selama 9 tahun tetapi akhirnya dinyatakan gagal. Penyebab dari kegagalan Gǔn kemungkinan besar karena dia kurang mampu mempersatukan orang dari berbagai suku. Menurut catatan Shàngshū Yáodiǎn, pada mulanya Yao oleh karena sifat Gǔn yang suka saling menyalahkan dan membeda-bedakan suku, tidak setuju mengangkat Gǔn sebagai pemimpin dari pekerjaan mengendalikan banjir.
Diduga bahwa pada waktu Gǔn menjabat sebagai pemimpin dari pekerjaan pengendalian banjir, sudah banyak suku yang tidak puas dengannya. Dalam Shàngshū Hóngfàn dan Guóyǔ Lǔyǔ terdapat catatan tentang Gǔnzhànghóngshuǐ, yang menceritakan bahwa cara Gǔn mengendalikan banjir adalah dengan menggunakan tanah dan kayu untuk membendung air, yang akhirnya gagal, dan ini juga mungkin merupakan salah satu dari kegagalan Gǔn dalam mengendalikan banjir selama 9 tahun. Pada akhirnya, setelah Gǔn gagal dalam mengendalikan banjir, dia dihukum mati di Yǔshān (Gunung Yu).
***
Yǔ adalah putra dari Gǔn. Yǔ bukan hanya tidak menunjukkan rasa dendam, malahan tetap menghormati Shun, dan mendapatkan kepercayaan dari Shùn. Shùn menyerahkan tugas mengendalikan banjir kepada Yǔ. Yǔ memperbaiki cara ayahnya mengendalikan banjir, secara besar mempersatukan orang dari berbagai suku, sehingga akhirnya berhasil mengendalikan banjir. Dalam catatan Shǐjì Xiàběnjì tercatat waktu Yǔ mengendalikan banjir, bekerja keras, tiga kali melewati pintu rumahnya tetapi tidak pernah masuk – dengan alasan reuni dengan keluarga akan menghabiskan banyak waktu dan pikiran dari tugasnya mengendalikan banjir. Kegigihan dan ketekunannya dalam melaksanakan tugas mendapat penghargaan dari banyak kalangan, dan ini mungkin juga merupakan salah satu faktor dari bersatu berbagai suku.
Oleh karena Yǔ berhasil mengendalikan banjir dan mengembangkan pertanian, sehingga kekuatan suku Xià menjadi kuat, menjadi pemimpin dari gabungan berbagai suku. Kemudian Shùn mengutus Yǔ untuk menyerang suku Sānmiáo. Yǔ mengusir suku Sānmiáo kedaerah perairan Dānjiāng dan Hànshuǐ, berhasil mengkokohkan kekuatan kerajaan. Dalam Mòzǐ Fēigōng diceritakan bahwa setelah Yǔ berhasil menaklukkan suku Sānmiáo, suku Xià sudah menjadi suku yang sangat penting diperairan Huánghé pada waktu itu. Shùn mewariskan singgasana kepada Yǔ, Yǔ pernah mengadakan pertemuan persekutuan antar suku di Túshān (Gunung Du), dan sekali lagi menyerang suku Sānmiáo (pada waktu itu suku di Zhōngyuán (pusat daratan Cina) sering berperang dengan suku Sānmiáo).
Dalam Zuǒzhuàn (walau mungkin terlalu dibesar-besarkan) dikatakan terdapat puluhan ribu negara upeti menghadiri pertemuan persekutuan di Túshān, dengan demikian boleh diperkirakan betapa besarnya pengaruh suku Xià pada waktu itu. Pada suatu pertemuan antar suku di Huìjī, pemimpin suku Fángfēngshì, waktu pertemuan datang terlambat dan dihukum mati oleh Yǔ. Ini membuktikan bahwa suku Xià pada awal pengukuhan kekuasaannya telah muncul sifat monarki atas kekuasaan. Menyusul dengan semakin kuatnya kekuasaan gabungan suku bangsa dengan suku Xià yang merupakan keturunan dari suku Húangdì sebagai inti kekuatan, hubungan ekonomi berbagai daerah juga semakin kuat. Dalam catatan sejarah kuno sering terdapat catatan tentang Yǔ menentukan pembayaran upeti sesuai dengan jarak negara-negara upetinya, ini juga membuktikan pengendalian ekonomi suku Xià terhadap suku-suku lain disekitarnya.
Dalam catatan literatur kuno juga sering diceritakan nafsu Yǔ atas kekuasaan pada usia tuanya. Walaupun Yǔ ingin mempertahankan kekuasaan pemerintahan dalam suku Xià sendiri, tetapi tetap harus mempertimbangkan tradisi Chánràng, sehingga ia menerapkan suatu siasat yang efektif. Yǔ pada mulanya mengangkat Gāotáo dari suku Yǒuyǎnshì yang memiliki reputasi tinggi sebagai ahli warisnya, guna menunjukkan penghargaan Yǔ terhadap tradisi Chánràng. Tetapi Gāotáo lebih tua dari Yǔ, sehingga belum sempat mewarisi singgasana sudah meninggal. Kemudian Yǔ memilih Yì dari suku Dōngyí yang tidak begitu berpengaruh menjadi ahli waris. Pada waktu itu banyak suku yang tidak mendukung Yì, dan malahan mendukung putra dari Yǔ, Qǐ. Yǔ berharap jika kelak Yì tidak mendapat dukungan dari masyarakat, maka akan mewariskan singgasana kepada putranya Qǐ.
***
Setelah Yǔ meninggal, Yì sama sekali tidak mendapatkan kedudukannya, malahan dengan dukungan masyarakat, Qǐ mendapatkan kedudukan sebagai pemimpin (tetapi menurut Zhúshūjìnián, Yì sebenarnya sempat naik takhta, namun kemudian Qǐ membunuh Yì dan merebut kekuasaan). Sehingga Yì memimpin pasukan gabungan dengan suku Dōngyí menyerang Qǐ. Setelah melalui perang selama beberapa tahun, akhirnya Yì dibunuh oleh Qǐ, sehingga Qǐ berhasil naik takhta sebagai raja. Dan ini oleh kebanyakkan sejarawan dianggap sebagai awal dari dinasti pertama di Cina yang menerapkan cara Shìxízhì (Putra tertua merupakan ahli waris Kekan) - Dinasti Xià.
Kemudian juga terdapat banyak suku yang masih menganut cara Chánràng (bawahan terkuat menjadi penerus kekuasaan) tidak puas dengan kekuasaan Qǐ. Pemimpin dari suku Yǒuhùshì yang tinggal disekitar daerah sekarang Guānzhōng provinsi Shǎnxī, memimpin pasukan gabungannya menyerang Qǐ, dan di daerah Gān (sekarang selatan dari Hùxiàn provinsi Shaanxi) melakukan pertempuran sengit. Sebelum perang, Qǐ menyebut kedudukan kekuasaannya sebagai Gōngxíngtiān (melaksanakan mandat langit), yang juga merupakan dasar dari terbentuknnya Tiānzǐlùn (teori putra langit). Qǐ memiliki dukungan dari masyarakat di Zhōngyuán, dalam hal jumlah pasukan jauh lebih unggul, sehingga akhirnya berhasil mengalahkan Yǒuhùshì. Kemenangan kedua dari Qǐ membuktikan bahwa prinsip dalam masyarakat di Zhōngyuán telah berubah dari tradisi Chánràngzhì menjadi Shìxízhì.
Suku Xià pada mulanya bermarga Sì, tetapi mulai dari Qǐ diubah menjadi Xià sesuai dengan nama kerajaannya. Dan pada waktu yang bersamaan, Qǐ tidak lagi menggunakan Bó sebagai gelar kebesaran dan diganti menjadi Hòu, dengan gelar Xiàhòu Qǐ.
Selama masa pemerintahan Qǐ, putranya Wǔguān sering melakukan pemberontakan. Hánfēizǐ Shuōyí mengatakan Wǔguān adalah seorang yang Hàiguóshāngmínbàifǎ (merugikan negara, menyakiti rakyat, merusak hukum), sehingga akhirnya dibunuh. Selain kekacauan dalam suku Xià sendiri, guna untuk memperkuat kekuasaan gabungan antar suku bangsa disekitarnya, suku Xià juga sering melakukan peperangan dengan suku Dōngyí.
***
Setelah Qǐ meninggal, putranya Tàikāng meneruskan singgasana. Tàikāng hanya tahu hidup foya-foya, tidak mengurusi pemerintahan, selama masa pemerintahannya, kekuatan suku Xià menjadi lemah, sehingga suku Tàihào dan Shǎohào dari Dōngyí mengambil kesempatan menyerang ke barat. Pemimpin suku Dōngyí merupakan seorang jagoan memanah yang bernama Yì. Dalam catatan Lǚshìchūnqiū Wùgōng menganggap bahwa busur panah adalah diciptakan oleh Yì. Yì memimpin pasukan Dōngyí pindah kedaerah milik Yǒuxiàshì, Qióngshí (sekarang selatan Luoyang, provinsi Hénán), dan melakukan perkawinan dengan orang setempat, menjalin hubungan yang baik, dan membentuk suku Yǒuqióngshì. Yì dengan dukungan dari rakyat Xià berhasil mendapatkan kekuasaan atas pemerintahan Dinasti Xià. Sedangkan Tàikāng melarikan diri kebawah naungan Zhēnxúnshì.
Yì setelah mendapat kekuasaan tidak mengangkat diri sendiri sebagai raja, tetapi mengangkat adik dari Tàikāng, [Zhòngkāng] sebagai raja. Tetapi sebenarnya seluruh kekuasaan dan keputusan berada ditangan Yì. Hal ini menimbulkan rasa tidak puas dari banyak suku lainnya. Diantaranya Yǒuhéshì dan Yǒuxīshì yang bertanggung jawab atas astronomi secara terang-terangan menentang. Yì dengan alasan merusak tata astronomi dan sia-sia pada jabatannya, mengerahkan pasukan menyerang mereka dan mendapatkan kemenangan.
Setelah Zhòngkāng meninggal, anaknya Xiàng mengantikannya. Tidak lama kemudian Xiàng lari kebawah naungan Zhēnxúnshì dan Zhēnguànshì yang mendukung Dinasti Xià. Akhirnya Yì menjadi penguasa tunggal Dinasti Xià. Tetapi setelah mendapat kekuasaan, Yì sama seperti dengan Tàikāng, tidak lagi mengurusi urusan negara, setiap hari pergi berburu. Ia memecat menteri-menteri setia seperti Wǔluó , Bókùn, Lóngyǔ, dan malahan memakai Hánzhuó yang diusir dari suku Bómíngshì. Hánzhuó mengumpulkan komplotannya, sehingga kekuasaannya semakin besar. Sampai suatu hari, ia mengambil kesempatan waktu Yì pergi berburu, membunuh Yì dan seluruh keluarganya.
Setelah merampas kekuasaan dari Yì. Hánzhuó menganugerahkan daerah Gē kepada putranya Yì, dan menganugerahkan daerah Liáo kepada putranya yang lain, Jiāo. Jiāo memimpin pasukannya memusnahkan Zhēnxúnshì dan Zhēnguànshì yang mendukung Dinasti Xià, membunuh Xiàng yang bersembunyi di Zhēnxún. Istri Xiang, Mín pada waktu itu telah hamil, dari lubang tembok, ia berhasil melarikan diri dari serangan Jiāo, dan bersembunyi di rumah ibunya di suku Yǒuréngshì, dan tidak lama kemudian melahirkan Shǎokāng (Tàikāng, Zhòngkāng, dan Shǎokāng sama bernama Kāng, agar tidak membingungkan, mulai ditambahkan tanda generasi - yaitu nama tengah - di depan namanya).
***
Shǎokāng setelah dewasa, bekerja sebagai pengurus peternakan suku Yǒuréngshì, akibatnya ketahuan oleh Jiāo tempat keberadaannya. Jiāo mengutus orang ke suku Yǒuréngshì untuk membunuhnya, Shǎokāng terpaksa lari dan bersembunyi di suku Yǒuyúshì (keturunan dari Shùn). Pemimpin dari Yǒuyúshì pada waktu itu tidak ada anak laki-laki, hanya ada dua anak perempuan, sehingga sangat sayang kepada Shǎokāng. Ia menghadiahkan daerah Lúnyì kepada Shǎokāng, sehingga Shǎokāng dapat memakai Lúnyì sebagai markasnya, membentuk pasukannya sendiri. Ia mulai mengumpulkan sisa-sisa pasukan Dinasti Xià, dan membagikan tugas masing-masing. Ia menempatkan mata-mata di pasukan Jiāo, untuk persiapan merebut kembali kekuasaan Dinasti Xià. Pada saat itu, bekas menteri Dinasti Xià, Mǐ yang bersembunyi di suku Yǒugéshì - setelah mendengar kabar bahwa Shǎokāng ingin merebut kembali kekuasaan Dinasti Xià - memimpin sisa pasukan suku Zhēnguànshì dan Zhēnxúnshì bergabung dengan Shǎokāng dan mengalahkan pengkhianat Hánzhuó lalu mengangkat Shǎokāng sebagai raja Dinasti Xià.
Shǎokāng juga berhasil memusnahkan Jiāo (putra Hánzhuó) di daerah Guò, dan mengutus putranya Zhù memusnahkan Yì (kakak Jiāo) di daerah Gē, sehingga suku Yǒuqióngshì dari kaum Dōngyí yang menguasai Zhōngyuán sebanyak 3 generasi dan ratusan tahun akhirnya musnah. Shǎokāng berhasil merebut kembali kekuasaan Dinasti Xià, yang dalam sejarah disebut sebagai Shǎokāngzhōngxìng (masa kejayaan Shǎokāng). Dari Tàikāng kehilangan kekuasaan sampai Shǎokāngzhōngxìng menunjukkan keberhasilan suku Huáxià menaklukkan suku-suku disekitar Zhōngyuán (terutama suku Dōngyí).
***
Putra Shǎokāng, Zhù mengantikan kedudukan raja. Ia mengerti ketidak puasan suku Yí di timur terhadap Dinasti Xià, untuk memperkokoh kekuasaan di timur, ia memindahkan ibukota dari Yuán (sekarang Jǐyuán, provinsi Hénán) ke Lǎoqiū (sekarang utara dari Kāifēngxiàn, provinsi Hénán). Ia berkonsentrasi mengembangkan peralatan perang dan perlengkapan prajurit. Ia juga mengutus orang untuk menyerang suku Yí di daerah pesisir pantai timur (sekarang bagian barat provinsi Shāndōng, bagian timur provinsi Ānhuī dan sekitar provinsi Jiāngsū).
Pada waktu itu, ia juga mendapatkan barang keramat, Jiǔwěihú (serigala sembilan ekor - Jepang: Bijuu). Wilayah Dinasti Xià juga pada masa pemerintahan Zhù meluas sampai kedaerah pesisir Dōnghǎi (sekarang Huánghǎi). Selama masa pemerintahan Zhù, boleh dikatakan merupakan masa paling makmur dan maju dari Dinasti Xià. Orang Xià juga sangat menghargai dan menghormati Zhù. Menurut catatan Guóyǔ Lǔyǔ menganggap Zhù secara keseluruhan mewarisi karier dari Yǔ.
Pada masa pemerintahan putra dari Zhù, Huái, suku Dōngyí dan suku Huáxià hidup dalam damai. Sembilan suku Yí (Jiǔyí): Quǎnyí, Yúyí, Fāngyí, Huángyí, Báiyí, Chìyí, Xuányí, Fēngyí, dan Yángyí yang tinggal di daerah perairan Huáihé (Sungai Huai) dan Sìshuǐ sering datang menyembah dan menyerahkan upeti. Setelah Huái meninggal, digantikan oleh putranya Máng. Setelah Máng meninggal, digantikan oleh putranya Xiè. Selama periode ini, hubungan antara suku Dōngyí dan suku Huáxià terus berkembang. Pada masa pemerintahan Xiè, suku Dōngyí pada umumnya sudah membaur dengan suku Huáxià, maka ia mengalihkan perhatiannya ke barat. Dan pada waktu itu, ia mulai melakukan anugerah tempat dan gelar kepada negara-negara upeti. Dan ini merupakan permulaan dari Zhūhóuzhì (sistem feodal) Cina beberapa abad kemudian. Setelah Xiè meninggal, putranya Bùjiàng mengantikan. Bùjiàng sempat beberapa kali memimpin pasukannya menyerang Jiǔyuàn di barat.
***
Setelah Bùjiàng meninggal, adiknya Jiōng mengantikannya. Setelah Jiōng meninggal, putranya Jìn mengantikannya. Jìn naik takhta tidak lama, meninggal karena sakit, kemenakannya, putra dari Bùjiàng, Kǒngjiǎ yang naik takhta. Ia mengubah tradisi Dinasti Xià yang sembahyang terhadap leluhur, mulai menitik-beratkan sembahyang kepada langit.
Dalam Shǐjì Xiàběnjì dikatakan Kǒngjiǎ adalah seorang yang Hàofāngguǐshén (suka meniru dewa dan hantu), Shìyínluàn (urusan negara menjadi kacau). Banyak suku dan negara upeti mulai tidak puas dengan pemerintahan Dinasti Xià, tetapi hubungan antara suku Dōngyí dan suku Huáxià masih baik. Ini mungkin karena pembauran antara suku Dōngyí dan suku Huáxià udah sangat tinggi. Setelah Kǒngjiǎ meninggal, digantikan oleh putranya Gāo. Setelah Gāo meninggal, digantikan oleh putranya Fā. Pada periode ini, hubungan antara Dinasti Xià dengan suku dan negara upetinya memburuk, keributan dalam istana kerajaan juga semakin parah. Mulai dari masa pemerintahan Kǒngjiǎ sampai Lǚgǔi (Xià Jié), gejolak dalam kerajaan sendiri tidak pernah berhenti.
***
Setelah Fā meninggal, putranya Jié mengantikannya. Selama masa pemerintahan Jié, hubungan antara suku dan negara upeti dengan Dinasti Xià sudah retak. Suku dan negara yang membayar upeti kepada Dinasti Xià semakin berkurang sehingga Jié sering menyerang suku dan negara upeti yang tidak taat kepada Dinasti Xià. Dalam catatan literatur kuno dikatakan bahwa Jié sangat hidung belang, setiap kali setelah mengalahkan suatu suku, pasti memilih perempuan dari suku tersebut yang ia sukai, kemudian dibawa pulang ke istana untuk dijadikan selir. Guóyǔ Jínyǔ mencatatkan suku Yǒushīshì, Zhúshūjìnián mencatatkan suku Mínshānshì dan Mòxǐshì, semua pernah mengalami nasib yang sama. Di antaranya selir dari Mòxǐshì terlebih dahulu sudah terikat perkawinan dengan Yīyǐn, tetapi dirampas oleh Jié di Luó, sehingga Yīyǐn dalam amarahnya pergi bergabung dengan Shāng Tāng.
Serangan-serangan yang dilakukan oleh Jié juga membuat marah beberapa suku yang cukup kuat dan berpengaruh. Suku Yǒumínshì (keturunan Shùn) oleh karena tidak menuruti kemauan Jié sehingga dimusnahkan. Suku Shāng bermarga Zǐ yang aktif di daerah barat daya provinsi Shāndōng, pada waktu Dinasti Xià yang sedang mengalami kekacauan mulai berkembang dan maju. Jié juga dengan alasan suku Shāng tidak patuh, menyerang dan mengalahkan pemimpin suku Shāng yang bernama Tāng. Tāng dipenjarakan di Xiàtái (ada yang mengatakan Diàotái), kemudian dilepas. Selain hubungan luar Dinasti Xià yang semakin memburuk, dalam catatan literatur juga diceritakan Jié salah memakai orang dalam pemerintahannya.
Jié hanya tahu berfoya-foya untuk diri sendiri, tidak memedulikan penderitaan rakyat. Sekitar akhir abad ke 17 SM, pemimpin dari suku Shāng, Tāng memimpin pasukan gabungan dari berbagai suku dan negara upeti menyerang Jié dan memusnahkan suku-suku yang membela Dinasti Xià: Wéi, Gù, Kūn, Wú, dan terakhir di Cānghuáng berperang dengan Jié. Kekuatan Tāng sangat besar, Jié tidak sanggup bertahan sambil melarikan diri dan berperang. Akhirnya ia akalah di daerah suku Yǒusōngshì. Jié lari ke Míngtiáo (sekarang pertengahan provinsi Hénán - versi lain mengatakan sekarang merupakan Ānyi, provinsi Shanxi) dan dikejar oleh Tāng. Perang besar-besaran terjadi di Míngtiáo. Sekali lagi Jié mengalami kekalahan, dan diasingkan oleh Tāng ke Lìshān - Gunung Li (ada yang mengatakan Géshān - Gunung Ke), tinggal bersama Mòxǐshì. Akhirnya Jié melarikan diri ke Náncháo(sekarang Cháoxiàn, provinsi Anhui) dan meninggal di sana.
Setelah Pertempuran Míngtiáo, Dinasti Xià digulingkan, dan atas dukungan dari suku-suku dan negara upeti, di Háo mengelar diri sebagai Wáng (raja). Dinasti pertama dalam sejarah Cina dengan kekuasaan Shìxízhì, Dinasti Xià, yang diwariskan sebanyak 13 generasi (buku sejarah Shìběn mencatat 12 generasi), 16 raja, selama 471 tahun (menurut Zhúshūjìnián), pada akhir abad ke-17 SM, awal abad ke-16 SM musnah.
***
Setelah Dinasti Xià musnah, sisa keturunannya masih bermukim di Zhōngyuán. Ada dua kelompok masing-masing pindah ke selatan dan utara. Jié membawa banyak keturunan Dinasti Xià dari Lìshān pindah ke Náncháo di selatan, ini adalah kelompok selatan. Kelompok utara masuk ke dataran Mongol, dan berbaur dengan masyarakat setempat, dan inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan suku Xiōngnú. Dalam Shǐjì Xiōngnúlièzhuàn tercatat "Xiōngnú, leluhurnya adalah keturunan dari raja Xià (yaitu Yǒuxiàshì)". Kuòdìpǔ secara lebih jelas menyatakan "Putranya (yang dimaksud putra dari Jié), Xūnzhōu (atau Xūnyù) mengawini selir dari Jié, pindah ke padang luar di utara, hidup beternak dan berpindah-pindah (yang dimaksud adalah kaum suku pengembala di padang rumput utara) yang oleh orang Cina disebut sebagai Xiōngnú".
--
http://yinnihuaren.blogspot.com
Email Upload by: Chen Mei Ing - Jakarta