Kimono Jepang sangat dipengaruhi oleh budaya Dinasti Tang Tiongkok (618-917). Kimono telah ditemukan sejak periode Edo hingga masa Restorasi Meiji. Seiring dengan perkembangan zaman, model baju kimono kini menjadi jauh lebih beragam, lebih disesuaikan dengan selera masa kini. Namun bagi orang Jepang, kimono tetap saja hanyalah dianggap sebagai warisan budaya kuno, dan lebih pantas masuk museum daripada dikenakan pada kehidupan sehari-hari. Perempuan Jepang zaman sekarang kebanyakan lebih menyukai pakaian casual maupun pakaian resmi.
Padahal kimono bukan hanya sekedar pakaian orang zaman kuno, di baliknya juga terdapat makna yang mendalam. Di zaman dulu, setiap perempuan Jepang harus memiliki tiga set kimono: set pertama adalah untuk anak perempuan usia 3-7 tahun berpartisipasi dalam “Festival Anak-anak.” Set kedua untuk remaja usia 20 tahun untuk menghadiri “Festival Dewasa”. Dan set ketiga adalah untuk upacara pernikahan, dan harus benar-benar disimpan sebagai pusaka keluarga.
Terus terang saja, secara fisik, rata-rata perempauan Jepang bertubuh “biasa.” Rata-rata mereka bertubuh pendek, memiliki kaki yang pendek pula, dan biasanya kaki mereka kasar. Jika mereka memakai pakaian yang “terbuka” maka kekurangan mereka itu akan tampak dengan jelas. Tetapi dengan satu set kimono yang indah, bisa menyembunyikan kekurangan itu dengan baik, sekaligus menunjukkan pesona perempuan oriental.
“Membungkus” tubuh dengan kimono
Kimono memiliki bermacam-macam jenis, yang menunjukkan suatu umur dan status perkawinan. Sebagai contoh, perempuan lajang mengenakan kimono dengan lengan yang ketat, sedangkan yang telah menikah biasanya memakai yang berlengan longgar.
Gaya rambut juga disesuaikan dengan jenis kimono. Misalnya, gaya rambut “Shimada”, yang menunjukkan bahwa perempuan tersebut masih lajang, harus menggunakan kerah baju berwarna merah. Sedangkan gaya rambut “roti bundar” harus dipakai dengan kimono berwarna polos untuk menunjukkan bahwa seorang perempuan telah menikah.
Kimono tidak menggunakan kancing, namun menggunakan ikat pinggang sebagai pengikat tali simpul. Yang seolah “membungkus” tubuh sang pemakai dengan kain bercorak daun dengan beraneka macam warna yang berbeda.
Mengungkapkan pesona perempuan
Seperti halnya pria Tionghoa yang menyukai perempuan berkaki kecil, para pria Jepang lebih menyukai bagian leher dan punggung. Oleh karena itu, ketika membuat kimono, rancangan baju sangat memperhatikan dua daerah tersebut, dalam rangka untuk mengungkapkan sebuah keanggunan tanpa menimbulkan kesan seronok.
Tetapi dari sudut pandang kenyamanan, kimono tetap harus memperhatikan masalah ventilasi. Bagian lengan, depan, dan rok, tetap dapat fleksibel buka dan tutupnya. Bagian yang terbuka dan tertutup dalam baju kimono juga memiliki arti yang berbeda, hal ini ditentukan berdasarkan status sang pemakai. Jika tidak termasuk dalam kelompok tertentu, Anda harus memakai rok yang tertutup.
Untuk bagian penutup kerah kimono, dapat memiliki konotasi yang berbeda pula: perempuan yang telah menikah dapat membiarkan kerah mereka di sekitar leher terbuka, tetapi pada perempuan lajang, bagian kerah harus tertutup. Seorang penghibur (penyanyi/penari) dapat memakai kimono dengan kerah terbuka dan hanya mengenakan kerah di bentuk-V di bagian depan. Pada kenyataannya, bagian leher dan punggung seorang perempuan Jepang rata-rata tidak begitu elegan, namun setelah mengenakan kimono, akan segera menampilkan suatu keanggunan yang berbeda.
Dalam puisi “Sha Yang Nora,” yang ditulis oleh seorang penyair Tiongkok terkenal, terdapat satu bait yang berbunyi, “Ketika seorang perempuan muda mengucapkan selamat tinggal, kelembutannya ditunjukkan dengan menundukkan kepala, seperti bunga teratai yang menunjukkan rasa malu di bawah angin lembut.” Jadi, dengan mengenakan kimono, dapat menampilkan kelembutan dan keanggunan sejati perempuan oriental. [Chen Mei Ing]