Seekor harimau yang berjalan-jalan di gunung itu melihat keledai tersebut, dan menyangkanya sebagai seekor raksasa yang ganas, kerana tubuhnya memang agak besar. Sang harimau itu pun menyembunyikan diri, sambil mengintai-intai di celah pokok dahan. Tidak lama kemudian, ia pun cuba mendekati keledai itu dengan penuh cermat, tetapi tetap tidak tahu apa binatang itu sebenarnya.
Beberapa hari kemudiannya, tiba-tiba, keledai itu berteriak dengan kuat. Sang harimau itu berasa sangat takut hingga ia lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Pikirnya, "raksasa" itu mungkin terlalu lapar dan mau memakannya.
Selepas memperhatikan keledai itu berulang-ulang kali, sang harimau itu menjadi semakin biasa dengan teriakannya. Ia mendapati bahwa keledai itu sebenarnya tidak memiliki apa-apa kebolehannya selain daripada berteriak. Jadi, ia menjadi lebih berani untuk mendekati keledai itu, tetapi belum cukup berani untuk menyerangnya.
Lama-kelamaan, sang harimau itu menjadi semakin bebas berbuat sesuatu kepada keledai itu, hinggakan ia berani menyentuh keledai itu, bersandar padanya, malah bertindak seolah-olah mengodanya. Keledai itu tidak dapat menahan kesabarnya lagi, lalu ia pun mengangkat kakinya, dan menendang sang harimau itu sekuat-kuatnya.
Tendangan ini membuatkan sang harimau itu menjadi sangat gembira, kerana melalui tindak balas itu, ia pasti bahwa keledai itu memang tidak ada apa-apa kepandaian lain. Maka, ia pun menerkam ke arah keledai itu, sambil mengaum dengan kuatnya, lalu menggigit lehernya hingga patah, dan memakan dagingnya habis-habis. Setelah selesai makan, barulah ia meninggalkan tempat itu dengan penuh kepuasan.
Catatan Keterangan:
Peribahasa "Qian Lu Ji Qiong" atau "Keledai di Guizhou Kehabisan Akal" ini membawa arti, kebolehan yang terhad digunakan hingga habis. "Keledai" yang disebut dalam cerita tersebut pula menunjuk kepada orang atau golongan yang nampaknya sangat kuat atau berkuasa, tetapi sebenarnya tidak berupaya. (Mei-Ing)