Manusia boleh berusaha keras mengejar dan mendapatkan, tetapi sepertinya tidak perlu menaruh banyak perhatian untuk dipamerkan.
Kata Perenungan Master Cheng Yen, "Kesederhanaan adalah sebuah keindahan." Setelah kita berhasil dan bangga akan diri sendiri untuk sesaat, bukankah juga seharusnya mengerti untuk kembali kepada kesederhanaan, baru bisa membuat kita lebih banyak mendapatkan dari pada kehilangan.
Sebenarnya setiap hari harus dimulai dari kesederhanaan. Ketika cahaya cemerlang bersinar akan menyilaukan mata mata orang. Bagi orang yang beruntung acapkali berusaha keras untuk melindungi sinar tersebut agar tidak padam untuk selamanya. Sangat sedikit orang yang bisa berpikir tenang tentang masa lalu mereka yang pernah mengalami jatuh bangun, melewatkan hari-hari dengan kesederhanaan yang tidak bisa disederhanakan lagi.
Ketika seseorang yang tadinya berada di bawah panggung dengan tiba-tiba bisa naik ke atas panggung ia akan merasa bangga. Di atas panggung ia akan menerima tepuk tangan orang lain, tak henti-hentinya disorot dengan cahaya yang berkilauan.
Pada mulanya mungkin ia masih merasakan takut malu-malu dan canggung, tetapi lama kelamaan, sebaliknya ia akan merasakan kesenyapan saat sorot lampu telah dipadamkan. Hal tersebut bukan hanya gambaran perasaan seorang artis yang sudah ketinggalan zaman saja, tetapi juga merupakan perasaan yang dirasakan oleh siapa saja yang pernah berjalan dari kegemerlapan hidup dan kini kembali pada kesederhanaan.
Ketika manusia mengalami kejayaan, setelah dia mempunyai pangkat, jabatan dan kekayaan, selalu dengan sangat mudah melupakan cita-cita dan dorongan kepada diri sendiri yang pernah keluar dari lubuk hati yang terdalam ketika masih dalam kesederhanaan, lupa akan apa yang disebut orang rendah diri dan anggun, lebih-lebih tidak bisa mempertahankan langgam dan watak diri.
Memalingkan kepala melihat jalan yang telah kita lalui, sebenarnya setiap orang yang bisa tekun dan menyemangati diri sendiri selalu mulai menapak dari kesederhanaan. Berawal dari keadaan yang berada di titik nol, tidak mempunyai hak khusus, tidak berdalih untuk menampik sesuatu, yang ada hanyalah tak henti-hentinya berjuang untuk maju ke depan.
Saat itu kita mungkin harus menerima tantangan pengurasan tenaga secara maksimum, juga mungkin menerima penderitaan batin secara tidak terbatas, tak henti-hentinya mengucurkan darah dan keringat untuk bekerja, bersedia bersabar dan menyimpan segala keluhan dan teguran, hanya karena di dalam hati kita sangat jelas mengetahui kita sedang memperjuangkan cita-cita diri sendiri. Oleh karena itu kita bisa mencampakkan segala martabat dan kenikmatan.
Hal seperti ini merupakan perjalanan maksud hati yang dimiliki oleh kebanyakan orang yang sedang dalam proses pertumbuhan. Mempunyai keteguhan dan ketabahan yang demikian ini juga merupakan suatu keharusan barulah kita bisa melewati segala tantangan di masa-masa yang sangat berat.
Berawal dari kesederhanaan, setiap langkah begitu teguh dan tabah, begitu berliku-liku, begitu kokoh, setiap jejak langkah begitu mendalam, dan perasaan tersebut yang menetes ke dalam hati sanubari, ingatan itu mana mungkin akan begitu mudah terhapus!
Hari-hari dalam kesederhanaan mudah dilalui, tetapi suasana hati yang selalu dalam kesederhanaan tidak mudah diasuh dan dipertahankan. Ada berapa banyak orang sukses yang melewati kesederhanaan, melampaui jalan yang berliku-liku dan melangkah ke jalan yang rata?
Ketika ia naik ke atas panggung dan mendengarkan suara tepuk tangan, dan ketika dia sudah menjadi pusat perhatian dari para hadirin, dapatkah ia tidak menjadi bangga? Di dalam kilauan sinar lampu, sejak dari awal acapkali dia sudah tidak bisa melihat dengan jelas para hadirin yang berada di bawah panggung bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Ia juga tidak bisa membayangkan lagi bayangan dirinya yang juga pernah berada di bawah panggung duduk termenung.
Dari senyuman di wajah yang berminyak dan berbedak, telah lupa daratan, tidak ditemukan lagi kalimat-kalimat yang merasa bersyukur, tidak ditemukan lagi dirinya yang sederhana seperti masa yang lalu. Ia telah melupakan para atasan dan teman sejawat serta para handai taulan yang pernah memberi bantuan dan dorongan sehingga dirinya bisa sukses.
Segera sesudah menjadi pejabat dan menjadi kaya raya, ia tidak hanya menutup dan menyesatkan daya pandang mata diri sendiri, juga telah mengemas sifat suka berlagak yang berada di dalam hati. Pada saat-saat yang bersejarah, gelang sinar yang menyilaukan telah menutupi segala kebenaran masa lalu saat dirinya masih dalam kesederhanaan.
Di hari-hari dimana kita sedang berjaya, yang tersebar keluar dari tubuh kita adalah bau busuk uang dan sorotan mata yang menghina orang lain, sedangkan suatu saat nanti ketika para penonton dan pengunjung kita berangsur-angsur meninggalkan kita, teman karib juga pergi diam-diam, mau tidak mau kita harus menuju ke jalan kesepian dan sendirian, hal tersebut adalah satu-satunya jalan pulang ke kampung halaman yang bisa diprediksikan. [Merry Huang / Menado]