Sama seperti dengan sejarah kekaisaran Romawi pada jaman dahulu, motiv bangsa2 barbar (Visigoth, Goth, Vandal, Hun, dll) menyerbu kerajaan Romawi karena mereka tergiur akan kemakmuran dan kekayaan bangsa Romawi pada waktu itu, tetapi berbeda dengan nasib kekaisaran Romawi yang punah dan tidak dapat bangkit kembali untuk selamanya pada abad ke 5 Masehi, Tiongkok selalu dapat bangkit dan bersatu kembali bahkan bangsa2 penyerbu itu terserap kedalam arus peradaban Tiongkok sendiri.
Sejak jaman dinasti Chin , Tiongkok selalu diganggu oleh bangsa2 tetangga tersebut, sehingga Tiongkok terpaksa membangun Tembok Besar yang terkenal (Great Wall) untuk membendung dan menahan serbuan tersebut, walaupun tidak selamanya berhasil. Salah satu penyebab lemahnya negeri Tiongkok adalah lemahnya sistim pertahanan yang efektif atau kurangnya perhatian dalam membangun sisitim pertahanan yang andal.
Pengalaman sejarah dinasti Sung adalah suatu contoh yang buruk dan menyakitkan bagi bangsa Tiongkok. Dinasti Sung ( 960-1279) berkuasa hampir 320 tahun, tetapi tidak habis2nya diganggu dan diserang oleh bangsa Khitan, Liao dan Mongol. Dinasti Sung adalah salah salah satu dari dinasti yang terkenal dan termasyur serta makmur di Tiongkok, bidang2 pertanian, kebudayaan, perdagangan, teknologi dan ilmu pengetahuannya sudah berkembang jauh, para ahli sejarah mengatakan bahwa pada dinasti Sung adalah awal daripada revolusi industri Tiongkok pada waktu itu.
Teknologi pembuatan kapal dan navigasi sudah sangat maju, mesiu, kanon, alat pelontar api (flamethrower) serta percetakan sudah ditemukan pada jaman itu. Keramik, kaligrafi dan lukisan2 dari dinasti Sung adalah salah satu warisan budaya yang terindah dalam sejarah senirupa Tiongkok.
Tetapi disamping keunggulan2 dari dinasti ini, ia mempunyai kelemahan yang fatal sekali yaitu ia tidak membangun sistim pertahanan yang kuat dan kurang memperhatikan masalah keamanan, konsentrasinya hampir semua condong ke arah pengembangan kebudayan, sastra , perdagangan dll. Banyak pasukannya adalah tentara sewaan dari bangsa2 lain (bangsa barbar) yang loyalitasnya mudah berubah. Untuk membeli keamanan serta menghindari ancaman2 dari bangsa barbar , Sung membayar upeti sebagai bentuk uang suap seperti sutera, gandum, emas dll. (Appeasement).
Strategi dinasti Sung pada waktu itu adalah ” melawan orang barbar dengan orang barbar sendiri” (using barbarians to fight barbarians), ternyata strategi ini gagal, sehingga bangsa Khitan berhasil menduduki Tiongkok Utara dengan mendirikan dinasti Liao (916-1125), lalu Liao ini digantikan oleh bangsa Jurchen yang mendirikan dinasti Jin (1115-1234), bangsa Jurchen ini malahan berhasil merebut ibukota Sung Utara yaitu Kaifeng, sehingga ibukotanya harus berpindah ke Hangzhou di Zhejiang yang dikenal dengan nama dinasti Sung Selatan (1127-1279), kemudian datang bangsa Mongol yang gemar berperang , yang pada awalnya menaklukan dinasti Jin dahulu lalu menaklukan Sung selanjutnya.
Sesuai dengan strategi Sung “melawan orang barbar dengan orang barbar sendiri ” atau” lawan dari lawan saya adalah kawan saya” maka Sung membantu dan bekerjasama dengan Mongol untuk menaklukan Jin pada tahun 1234 dan pada gilirannya Sung sendiri dengan ironisnya direbut dan ditaklukan oleh bangsa Mongol pada tahun 1279 dan ini merupakan kejadian yang pertama dalam sejarah Tiongkok yang dilakukan dan dijajah oleh bangsa asing.
Walaupun dinasti Yuan berkuasa relatif singkat (1279-1368), tetapi Tiongkok disatukan kembali dengan utuh dengan teritorial yang terluas dalam sejarahnya, serta membuka pintu Tiongkok dengan negara2 lainnya didunia seperti kunjungan musafir Marco Polo yang terkenal itu.
Berbeda dengan beberapa bangsa lainnya, masyarakat Tiongkok tidak mengenal kelas Kesatria (Warrior Class) dengan Martial Spiritnya seperti bangsa Jepang dengan “Samurai” sebagai kelas kesatrianya dan bangsa Eropah dengan “Knight”. Posisi status sosial tentara dianggap sebagai salah satu strata sosial yang terendah di masyarakat Tiongkok pada waktu itu.
Umumnya mereka yang mau menjadi tentara secara sukarela adalah dari kelompok masyarakat yang marginal, sehingga menjadi tentara adalah pilihan profesi yang terakhir. Beberapa pengamat sejarah mengatakan bahwa salah satu sebab absennya kelas “Warrior” ini adalah sisitim birokrasi yang sudah maju dan terkonsentrasi di Tiongkok membuat sistim “Feodalisme” seperti yang dikenal dinegara Barat hampir tidak eksis di Tiongkok, karena sistim feodalisme merekalah yang memungkinkan terbentuknya kelas kesatria (Warrior) ini, selain itu juga ada pengaruh filosofi agama Budha dan Kong Hu Cu yang condong bersifat pasifis (menentang aksi kekerasan peperangan).
Paradigma kuno ini mungkin sekarang sudah bermutasi atau berubah, karena Tiongkok dapat seperti sekarang ini dikarenakan oleh adanya kekuatan Militer yang telah mengusir penjajah asing dan mempersatukan Tiongkok kembali, seperti Mao Tse Tung pernah berkata “bahwa kekuatan Politik lahir dari ujung laras senjata”. Seperti filsafatnya `Yin & Yang”, Tiongkok adalah negara yang penuh dengan paradoksal dan kontradiktif , disatu sisi masyarakatnya menilai rendah status sosial profesi tentara, disisi lain Tiongkok telah menghasilkan pemikir2 strategis militer yang terkenal seperti Sun Tsu dan Mao Tse Tung dll.
Pada waktu Tiongkok dalam keadaan kacau di jaman “Warlord” pada awal abad 20 , reputasi tentara pada periode itu dalam posisi yang terendah dimana tentara2 warlord itu seperti premen atau rampok yang berseragam, disiplinnya rendah, condong suka merampok, membunuh, memperkosa dll daripada membela rakyat yang tertindas atau melawan musuhnya, maka itu untuk merebut hati rakyat dan memenangkan revolusi melawan Kuomintang dan Jepang, Mao Tse Tung menginstruksikan tentaranya (Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok) untuk membela dan melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan, tidak mencuri atau merampok serta mengembalikan barang yang pernah dipinjamnya , tidak mengganggu wanita dll.
Dengan tindakan ini maka reputasi Tentara dimata rakyat Tiongkok telah direhabilitasi kembali. Sesudah kemerdekaan prajurit TPRT “Lei Feng ” dipilih dan dikampanyekan sebagai model prajurit teladan yang rela berkorban demi negara dan sosialisme untuk dijadikan panutan dan membangkitkan semangat patriotisme bagi generasi baru. (sekarang panutan generasi muda Tiongkok pasti bukan lagi Lei Feng!)
Di era jaman informasi ini yang sarat dengan teknologi, profesi kemiliteran bukan lagi profesi dengan status inferior, melainkan suatu profesi yang membutuhkan keterampilan , pendidikan dan latihan yang tinggi untuk mengoperasikan peralatannya yang canggih. Peperangan dimasa depan akan berbeda dengan peperangan masa lalu, alat2 yang berteknologi tinggi dan canggih akan lebih berperan dan menentukan dalam memenangkan perperangan modern. Kwantitas manusia yang besar bukan lagi faktor yang menentukan memenangkan dalam peperangan , targetnya saja yang lebih luas dan besar.
Siapa yang menguasai teknologi dialah yang mempunyai kesempatan untuk menang dan survive. Merasa terhina dan dipermalukan oleh bangsa asing dimasa lalu serta belajar dari pengalaman sejarahnya, maka Tiongkok telah memperkuat dan memodernisasi angkatan bersenjatanya dengan pesat. Generasi baru Tiongkok harus mencurahkan perhatian kepada sektor pertahanan, paradigma lama harus diganti dengan yang baru kalau Tiongkok tidak mau mengulangi sejarahnya masa lalu yang memalukan dan acuh tak acuh dengan masalah pertahanan atau menganggap rendah profesi kemiliteran.
Tiongkok mengatakan bahwa angkatan bersenjatanya ditujukan untuk pertahanan negara dan bukan ditujukan untuk memerangi negara lain karena dalam sejarahnya Tiongkok dikenal bukan sebagai negara agresor. Peperangan dengan negara dan bangsa lain pada umumnya adalah peperangan dalam rangka pertahanan membela diri atau perang terbatas di perbatasan, tetapi Tiongkok selalu menarik pasukannya sesudah peperangan selesai dan tidak pernah menjajah atau mendirikan pangkalannya disitu (seperti peperangan di Korea, India dan Vietnam). Tiongkok berusaha menyatukan kembali yang sampai hari ini belum berhasil dengan Taiwan secara damai seperti halnya dengan Hongkong dan Macau, tetapi jikalau
pemerintahan Taiwan yang sekarang ini nekat secara sepihak mendeklarasikan kemerdekaannya sendiri maka Tiongkok terpaksa menyatukan kembali dengan kekuatan militer. Dalam sejarahnya, dinasti (betapapun buruknya) yang dapat mempersatukan Tiongkok selalu dipuji dan dihormati selamanya, walaupun bukan bangsa Han yang berkuasa pada masa dinasti itu seperti dinasti Mongol (Yuan) dan Manchu (Ching), maka itu pemerintahan Tiongkok sekarang merasa harus bersikap tegas dengan permasalahan penyatuan kembali dengan Taiwan, walaupun dengan konsewekensi dan resiko konflik terbuka dengan Amerika Serikat, karena Pemerintahan dan Partai Komunis Tiongkok sekarang ini tidak mau dikutuk oleh sejarah dan generasi mendatangnya sendiri sekiranya Taiwan terlepas dari Tiongkok..
Masalah Taiwan membuat hubungan Tiongkok dengan Amerika meruncing dan Amerika Serikat sendiri pada saat kini merasa terancam secara ekonomi dan militer dengan perkembangan Tiongkok sekarang , walaupun anggaran angkatan bersenjatanya Amerika (400 milliar dollar) sebelas kali lebih tinggi dari Tiongkok sekarang (35 miliar dollar) dan penduduk Amerika sendiri hanya berjumlah seperlima kali dari Tiongkok.. Tiongkok mengatakan bahwa kebangkitan Tiongkok adalah kebangkitan dengan damai, dan tidak mengancam siapapun, Tiongkok membutuhkan lingkungan yang damai dan stabil untuk membangun negaranya.
Banyak orang Tiongkok mengatakan bahwa Tiongkok ingin memelihara perdamaian dan menjaga hubungan baiknya dengan Amerika, generasi muda Tiongkok masa kini melihat Amerika sebagai model negara yang maju , modern dan demokratis serta telah menjadi sumber inspirasinya dan banyak mahasiswanya belajar ke Amerika untuk menimba ilmu serta selama revolusi banyak sahabat2 Amerika yang telah membantu dan simpati terhadap perjuangan rakyat Tiongkok.
Sun Yat Sen dan Soong Chin Ling sendiri pernah belajar dan tinggal di Amerika dahulunya. Amerika harus lebih mengenal Tiongkok lebih jauh, bahwa doktrin militer Tiongkok sekarang masih sama dengan doktrin militer 2000 tahun yang lalu yaitu “memenangkan persaingan atau konflik tanpa peperangan !” (Sun Tsu). He he he, menurut saya justru kebalikannya!
Minggu depan Majalah “Tempo” akan menurunkan tulisan tentang genre sastra cerita silat, di mana antara lain akan dibahas bedanya cerita silat Jawa dan cerita silat Cina. Dan penulis artikel itu telah meminta masukan dari beberapa teman ‘enghiong’ cersil Cina. Masukan kita antara lain mengemukakan bedanya adalah cersil Jawa tidak didukung oleh kultur kelas menengah yang mempraktekan kependekaran, sedangkan cersil Cina dilatar-belakangi adanya kelas menengah yang mempraktekan kependekaran sebagai way of life-nya. Bahkan kalau di Eropa, dan juga Jepang, kependekaran itu hanya merupakan bagian dari kebangsawanan, di Cina golongan boehiap (kangouw & liokliem) merupakan kelas menengah yang bisa tumbuh berkembang dari rakyat kebanyakan. Bela diri (martial arts / kungfu / kuntauw) di Cina sudah ribuan tahun merupakan kegiatan yang meluas di kalangan rakyat, tua muda, laki perempuan, bukan hanya di kalangan istana atau militer.
Dan kegiatan itu bukan hanya past times activity, tapi bagi para hiapkek, piauwsu, tay-ong itu merupakan profesi dan acuan nilai moral. Di dunia ini hanya di Cina berkembang partai-partai kaum warrior yang tumbuh bottom up dari kalangan bawah sampai akhirnya menjangkau kalangan bangsawan. Seperti Siauwliem di awal Masehi, Butong di awal dinasti Beng (Ming), dll.. Yang di abad ke-20 berujung dengan bercabang dua, menjadi ‘partai-partai’ senam silat untuk kesehatan dan ‘partai-partai’ per-mafia-an yang dikenal sebagai triad. Komunitas seperti ini tidak dikenal di Eropa dan Jepang!
Ketika tentara Jepang dan Eropa berperang melawan tentara rakyat Gie Hoo Toan di Beijing pada tahun 1900-1901, mereka terheran-heran melihat adanya segmen masyarakat Cina yang bukan tentara, bukan bangsawan, tetapi bertempur secara hirarkis, berdisiplin, dan juga berani mati, dengan sebagian menyandang senjata (senjata tajam) sementara sebagian lagi tangan kosong. Saking tidak tahunya golongan masyarakat apa kaum Gie Hoo Toan itu kalau dibandingkan dengan masyarakat mereka sendiri, maka dalam catatan sejarah kita tahu pihak Barat akhirnya menamai pertempuran mereka melawan komunitas pesilat Cina itu sebagai “Perang Boxer”, pertempuran melawan ‘kaum petinju’! [Chen Mei Ing]