Komunitas Yahudi di China lebih terfokus pada orang-orang Yahudi di kota Kaifeng provinsi Henan. Orang Yahudi juga tersebar di Tian JinKarena di sinilah pusat segala catatan sejarah awal kedatangan orang Yahudi ke China ditemukan. Sejarah yang berusia hampir satu milenium kabarnya sejak kedatangan pertama orang Yahudi ke China. Mereka menyebut diri mereka You-tai ren atau orang Yu-tai dan memeluk agama Yahudi (orang Han menyebut Diao Jin jiao atau agama yang tidak makan urat).
Dari sejumlah laporan dan penelitian yang berhasil dihimpun, ternyata orang Yahudi di Kaifeng, China umumnya, telah mengalami evolusi yang luar biasa. Seorang profesor baru-baru ini mengunjungi sebuah rumah di Kaifeng yang pernah menjadi ibukota Kerajaan Song Utara ini. Zhao Hanyang, pemandu yang berusia 84 tahun ini tinggal di sebuah gang kecil pemukiman orang Yahudi. Di depan gang tertulis “Jingjiao Hutong” dalam tulisan China dan Ibrani.
“Keluarga kami tinggal disini. Setelah meninggalkan Israel, mereka akhirnya datang ke Cina. Itu sekitar 1000 tahun lalu. Awalnya, semua orang yang tinggal di daerah ini semuanya orang Yahudi. Tapi, sebagian besar keluarga itu sekarang sudah pindah, dan orang lain datang ke sini. Jadi hanya keluarga kami saja, keluarga Yahudi yang tersisa di sini.” Tepat di belakang rumah Zhao adalah rumah sakit Cina, Kaifeng. Rumah sakit itu dibangun di atas satu sinagog tempat para warga Yahudi setempat berkumpul dan berdoa. Sinagog itu hancur pada 1851 (catatan lain mengatakan karena Pemberontakan Tai Ping 1850), karena kena banjir luapan Sungai Kuning.
Yang tersisa hanyalah penutup sumur dari bahan besi, di ruang ketel rumah sakit. Sejarahwan lokal Hua Bangyan menuturkan, orang Yahudi pertama kali datang ke sini pada abad ke 10 dari India.
“Dulu, orang Yahudi kurang beruntung. Di banyak daerah yang mereka datangi, mereka tidak diperlakukan dengan baik. Tapi ketika datang ke Cina, mereka boleh hidup bersama dengan orang-orang di sini. Dan tak lama setelah itu, mereka dianggap sama seperti orang Cina juga, boleh beli tanah, dan membangun tempat ibadah. Mereka akhirnya punya kekuasaan ekonomi yang besar,”kisahnya tentang kehidupan orang Yahudi di China berabad-abad lampau.
Kita menengok sebentar hubungan orang Yahudi dengan ‘orang luar’ di masa lalu, adalah Matteo Ricci yang secara kebetulan bertemu dengan seorang Yahudi dari komunitas Kaifeng pada awal abad ke-16. Saat itulah penelitian orang Eropa terhadap orang Yahudi di Kaifeng dimulai, umumnya dilakukan oleh para misionaris Eropa. Ricci mendapatkan kunjungan dari seorang Yahudi Tionghoa muda bernama Ai Tian pada 1605, yang menjelaskan bahwa ia menyembah satu Allah. Tertulis dalam catatan bahwa ketika ia melihat sebuah gambar Kristen tentang Maria dengan Yesus yang masih kanak-kanak, ia percaya bahwa itu adalah gambar Ribka dengan Esau atau Yakub, tokoh-tokoh dari Perjanjian Lama. Ai menyatakan bahwa ia berasal dari Kaifeng, dan di sana ada banyak orang Yahudi. Ricci mengutus seorang Yesuit Cina untuk mengunjungi Kaifeng. Belakangan orang-orang Yesuit lainnya juga mengunjungi kota itu. Belakangan ditemukan bahwa komunitas Yahudi itu mempunyai sebuah sinagoga Libai Shi yang menghadap ke timur, dan memiliki banyak bahan tertulis dan buku-buku.
Meskipun hidup hampir terisolasi dan tanpa hubungan apapun dengan diaspora Yahudi di luar Cina, komunitas ini masih mampu mempertahankan tradisi-tradisi dan kebiasaan-kebiasaan Yahudi selama ratusan tahun. Namun, meskipun mereka tidak mengalami diskriminasi ataupun penganiayaan dari pihak orang-orang Tionghoa, suatu proses asimilias yang bertahap berlangsung terus. Hingga abad ke-17, asimilasi orang-orang Yahudi Kaifeng berlangsung secara intensif dan semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan perubahan-perubahan dalam kebiasaan-kebiasaan agama dan ritual Yahudi, tradisi sosial dan bahasa, serta perkawinan campuran antara Yahudi dengan kelompok-kelompok etnis lainnya, seperti orang-orang Han, dan minoritas suku Hui dan suku Manchu di Cina.
Orang Yahudi di Cina tampaknya “sangat menderita” dan tercerai-berai pada masa pemberontakan Taiping pada tahun 1850-an. Tercatat bahwa setelah tersebar ke mana-mana, mereka kembali ke Kaifeng, namun jumlah mereka tetap kecil dan menghadapi banyak kesulitan. Tiga prasasti Yahudi yang bertulis ditemukan di Kaifeng. Seorang peneliti Katolik pada awal abad ke-20 memperlihatkan bahwa manuskrip-manuskrip Ricci menunjukkan bahwa hanya ada sekitar 10-12 keluarga Yahudi di Kaifeng pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17, dan bahwa mereka konon telah tinggal di sana selama 500-600 tahun. Juga dinyatakan di dalam manuskrip-manuskrip itu bahwa ada jauh lebih banyak orang Yahudi di Hangzhou. Sensus terakhir mengungkapkan sekitar 400 orang Yahudi resmi di Kaifengi. Sulit memperkirakan jumlah orang Yahudi di negara manapun, namun di Cina hal ini hampir tidak mungkin.
Angka-angka bias berubah semata-mata karena perubahan sikap resmi pemerintah. Misalnya, jumlah etnis Manchu pada masa Dinasti Qing terakhir diperkirakan 2 juta orang. Setelah kejatuhan Dinasti Qing, orang-orang Manchu —yang kuatir akan mengalami penganiayaan —praktis menghilang dan hanya 500.000 yang tercatat dalam sensus berikutnya. Ketika kebijakan resmi mengenai kaum minoritas berubah, memberikan mereka hak-hak untuk dilindungi, jumlah etnis Manchu melompat hingga 5 juta orang. Jumlah orang yang dapat mengklaim etnisitas Yahudi di Kaifeng dan sekitarnya bisa mencapai hingga ratusan ribu orang. Sejauh ini, kebanyakan komunitas Yahudi di luar negeri tidak peduli terhadap mereka yang dianggap sebagai keturunan Yahudi Kaifeng (hal ini berlawanan dengan pengakuan orang Yahudi di Kaifeng).
Kita kembali ke gang kecil yang menjadi pemukiman orang Yahudi. Daerah Shudian Jie dulu menjadi saksi bisu masa kemakmuran itu. Shi Xinguang yang juga keturunan orang Yahudi, bangga dengan berbagai hal yang dihasilkan lelulurnya di kota ini. “Contohnya hotel ini dibangun leluhur saya. Dan di sana ada kedai teh, juga pasar pakaian tak jauh dari situ. Keluarga saya juga meninggalkan berbagai banyak benda seni. Dekat penguburan keluarga, kami punya beberapa seri jam tangan, gelang emas, dan yang lainnya. Dan kami menemukan lilin khas Yahudi dengan tulisan bahasa Ibrani, yang membuktikan ada hubungan antara orang Yahudi Kaifeng dengan orang Yahudi yang tinggal di luar negeri.”
Kini Shi Xinguang mencoba membangun kembali hubungan dengan komunitas orang Yahudi di luar negeri. “Agama Yahudi berevolusi secara total di Cina, ketimbang di negara-negara Barat”, tutur Hua Bangyan, sejarawan kota Kaifeng. “Setelah orang Yahudi diperlakukan dengan tidak baik di Eropa, berbagai komunitas orang Yahudi di Eropa membuat banyak organisasi. Itu untuk menjaga hubungan yang erat antara mereka sendiri, dan supaya mereka tetap bisa hidup bersama. Tapi di Cina, malah sebaliknya. Karena mereka disambut baik, dan melebur dengan warga lokal, maka mereka kehilangan sebagian dari identitas mereka.”
Penggunaan bahasa Ibrani ditinggalkan. Dan orang Yahudi yang menikah dengan kelompok etnis lainya semakin meningkat. Padahal budaya Yahudi tergolong matrilineal beda halnya di Cina yang patrilineal. Kini ada sekitar 600 hinggga 1000 warga Kaifeng keturuan Yahudi. Menurut Zhao Hanyang mereka tak pernah berpikir untuk mengubah budaya mereka,“Waktu saya masih kecil, saya sangat taat mengikuti kebiasaan makan orang Yahudi, dan saya sekarang masih makan daging yang di sembelih dengan cara yang benar sesuai dengan kebiasaan kami, dan tentunya saya tidak makan daging babi.” Untuk beli daging kosher atau daging halal, Zhao tergantung pada tukang daging Islam terdekat. Dulu, orang Cina Yahudi dianggap sebagai satu kelompok dari komunitas “Hui” yang dalam bahasa Cina yang berarti Islam. Mereka kerap disebut sebagai Muslim Biru karena menggunakan peci warna biru.
Kini, kota itu ingin merasakan manfaat tinggal di sana, setelah masyarakat internasional semakin tertarik dengan komunitas orang Yahudi setempat. Bahkan, di Universitas Kaifeng, satu pusat penelitan untuk studi atau ilmu Yahudi sudah didirikan. Salah satu profesor seniornya adalah Guo Aisheng, yang ingin menghidupkan kembali warisan budaya Yahudi.“Ini adalah budaya yang tak ternilai, jadi karena itu banyak turis yang datang ke sini, dan semakin banyak orang yang tertarik dengan sejarah Yahudi. Sekarang kami sudah mengadakan banyak kerjasama dengan kaum akademik yang datang dari luar negeri, untuk saling menukarkan dan melakukan penelitan.”
Melalui kerjasama seperti ini dan juga kunjungan para turis Yahudi, komunitas orang Yahudi Kaifeng telah dihubungkan kembali dengan komunitas Yahudi yang lebih luas lagi. Dan sebagian diantara mereka kini sudah pindah ke Israel, seperti anak perempuan dari Zhao. “Anak perempuan saya yang keempat sudah belajar di Israel selama beberapa tahun belakangan ini. Dia bisa bicara dalam bahasa Ibrani dan banyak orang Yahudi asing yang datang dan bertemu dengan saya. Kami ngobrol soal berbagai cara berpikir dan cara hidup kami.”
Disalin oleh: Chen Mei Ing