Pada saat itu Fo Tucheng sudah berusia 110 tahun lebih. Fo Tucheng dengan kemampuan supranaturalnya memberi wejangan kepada kaisar lalim dan menyebarluaskan agama Buddha, memberikan sumbangsih besar di dalam penyebarluasan agama Buddha di Tiongkok utara.
Sebelum Seng Heng tiba, Fo Tucheng sudah memberitahu muridnya yang bernama Fa Zuo, "10 hari lagi seorang biksu dari selatan akan kunjung, mestinya ia hendak menemui saya." 10 hari kemudian ternyata Seng Heng tiba, lantas dipertemukan ke Fo Tucheng.
Fo Tucheng menjelaskan kepadanya, "Kemampuan supranatural adalah kemampuan yang terbawa semenjak lahir, tapi hanyalah semacam teknik yang tak berarti, saya menggunakannya untuk mengarahkan kepada penguasa dan rakyat jelata menuju kebajikan, untuk memudahkan penyebaran hukum alam semesta. Sekarang saya mengetahui akan meninggalkan dunia ini, khawatir generasi kelak disibukkan oleh teknik kecil tersebut dan tak lagi mengenali maha hukum yang pokok, saya tahu saat ini popularitas Anda meskipun tidak dikenal orang, sesudah ribuan tahun toh akan tersiar, oleh karena itu saya pada kesempatan ini melalui Anda hendak memberikan pencerahan kepada umat manusia pada masa yang akan datang."
Seng Heng sudah mengetahui Fo Tucheng mampu meneropong jauh ke depan dan meramal kejadian yang akan datang, maka meskipun tak begitu memahami apa yang disampaikan oleh Fo Tucheng, ia toh mengiyakan saja.
Ketika menginjak usia uzur, Fo Tucheng wafat di kuil istana kota Ye dan dimakamkan di sana. Pada tahun ke dua setelah wafatnya, Ran Min memberontak merebut kekuasaan, makam Fo Tucheng dibongkar, ternyata di dalam peti matinya hanya terdapat Bo (缽, tempat makan untuk mengemis para biksu) dan tongkat saja.
Berjumpa dengan Dao An
Kala itu Dao An juga berada di kota Ye, Dao An (道安, 314-385 M) juga adalah salah satu biksu ternama. Ia sangat pintar, sewaktu kecil membaca buku hanya 2 kali sudah mampu menghafal isinya, sesudah menjadi biksu (pada usia remaja) menggunakan waktu istirahat siang saat bertani untuk menghafalkan sutra-sutra Buddha, tak peduli bagaimapun panjang isi sutra (kitab suci agama Buddha), semuanya bisa dihafal tanpa cela dalam tempo satu hari.
Setelah beranjak dewasa ia mengikuti titah sang guru berkelana ke segenap penjuru, meskipun piawai dalam beretorika, namun karena berwajah hitam dan buruk sempat dipandang enteng oleh semua orang sampai tiba saatnya berjumpa dengan Fo Tucheng baru memperoleh respek.
Sesudah Fo Tucheng moksha (mencapai kesempurnaan kultivasi dengan terbang ke surga), wilayah Utara terbenam di dalam pergolakan, untuk menghindari kekacauan perang, Dao An memimpin Seng Heng dan 500 lebih biksu lainnya berkeliling ke berbagai tempat untuk mengungsi.
15 tahun lamanya, hingga tahun 365 baru menetap di kota Xiang Yang (襄陽) dan mendirikan kuil serta berdakwah. Oleh karena kuil dinilai terlalu sempit maka Dao An mendirikan sebuah kuil yang bernama Tan Xi yang mempunyai pagoda 5 lantai dan kompleks itu memiliki 400 kamar, kaum intelektual dari berbagai pen-juru berdatangan untuk belajar.
Waktu itu penguasa yang paling berpengaruh di wilayah utara adalah Fu Jian (苻堅) dari kerajaan dinasti Qin-Awal (前秦, baca: jhin, tahun 338-385 M) yang di bawah pemerintahannya menjadi negara yang kuat dan berhasil menyatukan wilayah Tiongkok Utara.
Fu Jian sudah sering mendengar reputasi Dao An dan berkeinginan membawanya untuk dijadikan penasehat.
Tahun 379 semasa pemerintahan kaisar Xiao Wu(孝武帝), dinasti Jin Timur (東晉, baca: cin) demi menyongsong Dao An ke Chang An (長安), ia mengirim 100 ribu tentara menyerbu Xiang Yang dan berhasil menyandera Dao An dan Seng Heng serta membawa mereka ke kota Chang An. Mereka dipersilakan menetap di kuil Wu Zhong(待續).
Selanjutnya Dao An mempunyai ribuan murid di Chang An, menyebarkan hukum Buddha dalam skala luas. Para putra kaum bangsawan dan pejabat di kota Chang An yang ingin mempelajari syair dan sekolah, semuanya bergabung agar memperoleh reputasi baik.
Dao An sangat menyukai kitab sutra agama Buddha dan ia bertekad menterjemahkannya guna penyebarluasan hukum alam semesta, terkadang ia mengundang biksu dari luar negeri dan telah menerjemahkan berbagai kitab Buddha sebanyak jutaan aksara.
Sebelumnya Seng Heng sewaktu di Jian Kang (kota Nanjing kini) seringkali bersama dengan biksu secara detail mengeja lafal dan membahas makna aksara yang terdapat di dalam sutra, itulah mengapa Dao An sangat menghargai dan bergantung pada Seng Heng, bersamanya pula ia meninjau ulang sutra Buddha yang baru diterjemahkan, maka itu isi dari sutra-sutra tersebut memperoleh terjemahan yang lebih akurat.
Pada tahun 385, Dao An tiba-tiba mewartakan kepada semua orang, "Sudah waktunya saya meninggalkan dunia ini."
Selain itu ia mengatakan kepada Seng Heng, "Enam belas tahun setelah kepergian saya, seseorang bernama Kumarajiwa akan datang ke Chang An, Anda harus melanjutkan keinginan saya untuk menterjemahkan dan menyebarluaskan hukum Buddha dan menegakkan moralitas yang agung." Pada hari tersebut sesudah makan sayur-sayuran (seperti biasanya), tanpa melalui sakit ia wafat pada usia 72 tahun. [Ernawati H / Medan] Sumber: Kebajikan
Bersambung ...