Pada siang hari saat Ki-wu dan Pao-shu pulang dari kota yang bising. Ki-wu mengajak Pao-Shu pergi ke hutan cemara sambil berkata, "Disana kita dapat melupakan segala kerisauan, kita dapat menghirup aroma manis bunga dan berbaring di atas rerumputan hijau."
"Ide bagus!" ujar Pao-Shu. "Saya juga lelah, hutan adalah tempat terbaik untuk istirahat."
Segera mereka menuju hutan cemara dengan hati yang riang. "Sudah satu bulan saya belajar dan menulis buku, " ujar Ki-wu mulai bercerita. "Selama itu saya kurang istirahat, kepala ini bagaikan mau meledak."
"Dan aku…bekerja bagaikan budak. Boss sungguh memperlakukan saya dengan kasar, ujar Pao-Shu.
Kini mereka tiba di tepian hutan, menyebrangi sungai kecil, menikmati angin sepoi yang bertiup melewati pepohonan. Kira-kira satu jam mereka bercengkrama disana, ngobrol sambil tertawa-tawa. Tiba-tiba saat melewati semak berbunga, mereka melihat sebuah jalan menuju gumpalan emas.
"Lihat! Ada Emas!, ujar mereka berdua bersamaan sambil menunjuk harta karun itu.
Ki-Wu, berhenti berjalan, mengambil bongkahan emas tersebut. Besarnya hampir sebesar buah lemon, dan sangat cantik. Ia memikirkan sahabatnya sejenak, lalu berkata: "Ini milikmu, teman," ujarnya sambil memberikannya pada Pao-shu; "Milikmu karena kamu melihatnya pertama kali."
"Bukan, bukan, " ujar Pao-Shu. "Kamu salah. ini milikmu, karena kamu yang pertama mengatakan ada emas. Dewa telah menganugerahkan berkah atas ketekunanmu belajar. "
"Anugerah atas ketekunanku belajar?" Tidak mungkin. Belajar itu sendiri membuat kita pandai, itulah anugerahnya bagi kehidupan kita. Kawan, emas ini milikmu, ingat, tadi kamu bilang kamu bekerja bagaikan budak dan diperlakukan tidak baik, ini adalah untuk jasa-jasamu, ambillah. Biarlah emas ini menjadi keberuntunganmu."
Masing-masing menolak mengambil harta tersebut. Kedua sahabat itu lalu pulang, masing-masing merasa bahagia karena merasa persahabatan mereka lebih bernilai dari apapun juga di dunia ini. Mereka pulang ke rumah masing-masing tanpa ribut-ribut.
Suatu waktu mereka kembali lagi ke hutan untuk rekreasi, melihat ada seorang pengemis tidur di atas tanah.
"Bangun, kawan, ujar Pao-shu. "Ada emas di hutan ini, menunggu seseorang membawanya pulang."
Mereka lalu menceritakan kejadian ditemukannya bongkahan emas di semak bunga beberapa waktu yang lalu, menggambarkan tempat persisnya, dan kemudian pengemis itu pergi mencarinya.
Lalu mereka berdua duduk dan mulai mengobrol sambil mendengar burung berkicau di atas cabang pepohonan.
Tiba-tiba mereka dikejutkan suara marah dari pengemis yang mencari emas itu. "Kalian menipu saya ya?"
"Apa maksudnya, kawan?" tanya Ki-wu dengan heran. "Apakah kamu tidak menemukan bongkahan emas yang kami ceritakan?"
"Tidak ada!' ujarnya. Malah ada ular disana, untungnya saya sigap dan membunuhnya," ujar pengemis itu sambil berlalu.
"Ayo, Pao-shu, mari kita ke tempat itu dan mencari ular yang mungkin menyembunyikan emas itu", ajak Ki-wu.
Berjalan ke arah tempat yang dimaksud, bukannya menemukan bangkai ular, melainkan mata mereka tertumbuk pada dua bongkah emas di atas tanah, lebih besar dari yang dulu mereka lihat.
Mereka masing-masing mengambil satu dan memberikannya kepada satu sama lain dengan riang. [Yolanda Li / Banjarmasin]
* Sumber: Google Search Engine