Suatu tahun, diadakan kejuaraan pacuan kuda di atas padang rumput. Su He juga ikut serta dengan menunggangi si kuda putih. Kuda putih bagaikan sebuah kilat, dalam sekejap saja telah tiba di tempat tujuan. Bangsawan kaya merasa tidak senang, dan berkata pada Su He, "Kau seorang bocah miskin, tidak pantas menunggangi kuda yang demikian bagus. Saya beli kuda ini dengan 3 keping emas." Su He dengan berani menjawab, "Saya datang untuk pacuan kuda, bukan menjual kuda!" Si bangsawan menjadi marah begitu mendengarnya, "Pengawal, bawa keluar dan pukul dengan keras!"
Si bangsawan merebut kuda putih Su He. Pada hari kedua, ia mengundang banyak tamu, dan berkata pada semuanya, "Saya telah mendapat seekor kuda, jika berlari bagaikan sebuah kilat." Selesai berkata, kemudian menunggangi si kuda putih, namun sang kuda putih sedikit pun tidak bereaksi, tak bergerak. Bangsawan mengambil cemeti dan mencambuknya, si kuda putih tiba-tiba meloncat, bangsawan kaya jatuh terpelanting. Si kuda putih mengangkat kakinya lalu lari. Bangsawan kaya berteriak menyerukan, "Jangan biarkan dia pergi. Bunuh dia dengan panah. Puluhan panah menuju ke arah sang kuda putih. Si kuda putih tertancap panah, darah mengalir ke luar. Namun, ia menahan rasa sakit dan terus berlari dengan tiada henti, hingga tiba di rumah sang tuan kecil, Su He.
Su He tiba-tiba mendengar sebuah suara ringkikan kuda, "Oh, kuda putih telah kembali." Ia menahan rasa sedihnya, membuka pintu dan begitu melihat, "Oh, kuda putih yang malang, bulu yang putih bersih telah merah dilumuri oleh darah." Ia menciumi wajah sang tuan kecil, lalu jatuh ke lantai dan mati seketika.
Kuda putih telah mati. Dalam hati Su He terus berkata dengan tiada henti: "Kuda putih kembalilah! Kuda putih kembalilah!" Malam pada suatu hari, Su He baru saja tertidur, melihat si kuda putih telah kembali. Su He merangkul leher si kuda putih, mengecupnya dan mengatakan, "Kuda putih, saya benar-benar rindu padamu!" Kuda putih berkata lembut, "Saya juga sangat rindu padamu! Kau ambillah benda-benda yang ada di tubuhku dan buatlah sebuah biola! Dengan demikian, kita akan bersama selamanya."
Su He membuka matanya dan begitu melihat, kuda putih sudah tidak ada. Dengan berlinang air mata, ia membuat sebuah biola dari tulang si kuda putih, membuat tali dawai dengan menggunakan uratnya, membuat busur dengan menggunakan tulang ekornya, di atas tangkai biola terukir sebuah kepala kuda. Sejak itu, Su He setiap hari menggesek biola, dan telah banyak menggesek melodi yang enak didengar, dari jauh kedengarannya seperti sang kuda putih sedang menyanyi. Demikianlah, Ma Tou Qin (Rebab Kepala Kuda) telah menyebar ke segenap padang rumput. [Susan Sie / Bandar Lampung]