Bab sebelumnya membicarakan tentang cara-cara untuk merubah kesalahan kita pada kehidupan ini, sebenarnya untuk meyakinkan bahwa kehidupan yang baik tidak akan menjadi buruk. Bagaimanapun kita masih tidak sanggup mengubah kehdupan buruk menjadi baik, walaupun kita selalu berbuat baik pada kehidupan ini, kita tidak tahu kejahatan apa yang kita telah lakukan pada kehidupan yang lalu, sehingga balasan atas perbuatan kejahatan tersebut masih berlanjut pada kehidupan ini. Oleh karena itu, untuk mengubah kehidupan buruk menjadi baik, kita tidak hanya mengkoreksi kesalahan kita tetapi juga harus melaksanakan segala jenis kebaikan untuk membangun kebajikan.
Hanya cara ini kita dapat terlepas dari karma buruk kehidupan lalu. Pada saat akumulasi kebaikan kita bertumpuk, kehidupan buruk pasti akan berubah menjadi baik, dengan demikian, praktek kita untuk mengubah nasib dapat terbukti. Seperti tertulis dalam buku I Ching….
“Keluarga yang melakukan banyak kebaikan akan mengakumulasi nasib baik dan bertahan terus dari generasi ke generasi”
Mari saya memberi contoh. Suatu ketika ada satu keluarga yang bernama Yen, sebelum mereka menyetujui lamaran atas putrinya dari seorang laki-laki yang akhirnya menjadi ayah Konghucu, mereka menyelidiki perbuatan masa lalu dari keluarga laki-laki tersebut. Setelah menemukan bahwa keluarganya selalu berbuat baik dan mengumpulkan kebajikan. Keluarga Yen merasa yakin bahwa putrinya akan dinikahkan dengan keluarga yang akan menjadi sebuah keluarga yang kelak keturunannya akan makmur, tidak memperhatikan bahwa sekarang mereka bukan keuarga berada. Benar saja, putri mereka melahirkan “Konghucu”.
Suatu ketika Konghucu memuji Shwun, seorang raja pada awal zaman Tiongkok atas kebesaran sifat baktinya kepada orang tuanya, Beliau berkata : “Karena kebesaran sifat bakti Shwun dan leluhurnya, maka keturunan mereka akan terkenal dan dihormati dan bertahan sampai banyak generasi”.
Perkataan Konghucu ini terbukti oleh sejarah. Sekarang saya akan menunjukkan beberapa kejadian nyata bahwa kebajikan dapat diperoleh melalui perbuatan baik.
Di Propinsi Fukien, ada seorang terhormat yang bernama Rong Yang yang memegang jabatan pemerintah sebagai guru dari raja. Leluhurnya adalah tukang perahu sungai yang menyeberangkan penumpang di sungai, suatu ketika terjadi banjir raksasa karena angin topan, menghanyutkan penduduk dan harta benda, rumah, hewan dan barang-barang mereka terbawa arus.
Para tukang perahu lain menggunakan kesempatan ini meraih barang-barang yang terapung. Tetapi kakek dan kakek buyut Rong Yang hanya menolong orang yang hanyut dan tidak mengambil satupun barang-barang dari sungai. Tukang perahu lain semua menertawai dan mengatakan bahwa kakek dan kakek buyutnya sangat bodoh. Beberapa saat kemudian, ketika ayah Rong Yang lahir, keluarga Rong Yang lambat laun menjadi kaya. Suatu hari, seorang Malaikat yang menjelma sebagai seorang Bhiksu Tao mendatangi keluarga Yang dan berkata: “Leluhur Anda telah mengumpulkan banyak kebajikan, keturunan anda harus mendapat kekayaan dan reputasi, ada satu tempat khusus untuk membangun kuburan leluhur anda”.
Maka mereka mengikuti nasehat Bhiksu tersebut dan tidak lama kemudian, lahirlah Rong Yang. Pada umur 20 tahun, Rong Yang sudah lulus ujian negara dan diangkat sebagai pejabat berpangkat tinggi.
“Raja bahkan menganugrahi kakek dan kakek buyut-nya jabatan honoris.Sampai sekarang keturunannya masih sangat makmur dan ternama”.
Contoh lain seperti Zi Cheng dari propinsi Nimpo, Chehkian. Zi Cheng adalah seorang pejabat di pengadilan. Dia adalah seorang yang adil, ramah, rendah hati dan jujur. Suatu saat, hakim pengadilan menghukum seorang kriminal dengan memukulinya sampai darah membasahi lantai, kemarahan hakim masih belum reda dan meneruskan hukuman tersebut. Zi Cheng berlutut dan mohon agar berhenti memukuli tawanan tersebut. Hakim berkata . . . . . . “Anda memohon keringanan hukumannya, tetapi bagaimana saya tidak marah bahwa orang ini telah melanggar hukum”.
Zi Cheng berkata: “Bahkan banyak pemimpin dan penguasa pemerintah korupsi dan tidak mengikuti jalan yang sebenarnya, bagaimana seseorang dapat mengharapkan rakyat biasa untuk mentaati hukum dan peraturan? Tambahan lagi, siksaan berat dapat memaksa tergugat yang sebenarnya tidak bersalah untuk mengakui kesalahan atas kejahatan yang sebenarnya tidak dilakukannya. Untuk kasus demikian, kita harus lebih hati-hati dan mengerti. Walaupun kasus kejahatan ini dapat diungkapkan seharusnya juga jangan senang, karena adalah suatu aib, mengapa harus marah?”
Hakim tersebut tergugah oleh perkataan Zi Cheng dan berhenti memukul.
Walaupun Zi Cheng berasal dari keluarga yang miskin. Dia tidak pernah dapat disogok. Bila para hukuman kekurangan makanan, dia selalu bawa dari rumah sendiri walaupun dia sendiri yang harus menanggung kelaparan. Kasih sayang demikian selalu dipraktekkannya walaupun dia telah mempunyai 2 orang anak. Anak yang pertama bernama Shou Chen dan yang kedua bernama Shou Zi, kedua-duanya mendapat jabatan tinggi di pemerintah, bahkan keturunannya tetap memperoleh posisi baik di masyarakat untuk jangka waktu panjang.
Ini ada cerita nyata lain yang terjadi pada masa Dinasti Ming. Suatu ketika, ada segerombolan bandit muncul di Propinsi Fukien. Raja memerintahkan Jenderal Hsieh memimpin tentara untuk mengamankan tempat tersebut. Jenderal Hsieh tidak ingin ada penduduk yang tidak berdosa menjadi korban pada saat pelaksanaan misi ini.
Karena itu, dia berusaha mendapatkan daftar nama penjahat tersebut, lalu dengan sangat teliti dan rahasia memberikan bendera putih kecil kepada penduduk untuk dipasang di pintu sebagai tanda bahwa mereka tidak terlibat dan bila tentara masuk ke kota tidak menyerang rumah yang berbendera. Dengan tindakan ini, Jenderal Hsieh dapat menyelamatkan puluhan ribu jiwa rakyat yang tidak berdosa.
Setelah itu, anak Jenderal Hsieh berhasil meraih juara dalam ujian negera tingkat tinggi dan menjadi penasehat raja. Cucunya Pei Hsieh juga meraih juara dalam ujian negara.
Cerita nyata lain adalah keluarga Lin di Fukien. Diantara leluhurnya ada seorang ibu tua yang sangat suka berdana. Setiap hari dia membuat onde beras untuk diberikan kepada fakir miskin dan selalu memberi berapapun yang diminta. Ada seorang Bhiksu Tao setiap hari dan berturut-turut selama tiga tahun setiap kali meminta 6 atau 7 buah onde. Ibu tersebut selalu memenuhi permintaannya dan tidak pernah menunjukkan ketidaksenangan. Bhiksu Tao tersebut, sebenarnya adalah jelmaan seorang Dewa untuk menguji ketulusan dan kebaikan ibu tersebut, menyadari bahwa ibu tersebut benar-benar tulus dan baik lalu berkata : “Saya telah makan onde buatan ibu selama 3 tahun dan saya tidak dapat membalas kebaikan ibu. Mungkin saya dapat membantu anda dengan cara ini ” Tanah di belakang rumah ibu, adalah tempat yang sangat baik untuk membangun kuburan leluhur. Bila anda dimakamkan di sana kelak, maka jumlah keturunan anda yang bergelar di pemerintah adalah sebanyak 1 pon biji wijen”.
Ketika ibu tua tersebut meninggal, keluarga Lin mengikuti nasehat Bhiksu Tao tersebut dengan menguburkannya di tempat yang ditunjuk. Generasi pertama ibu tersebut, 9 orang lulus ujian negera dan berlanjut terus sampai generasi berikutnya.
Contoh nyata lain adalah ayah dari seorang sejarahwan pemerintah yang bernama Chi Feng. Suatu hari di musim dingin, ayah Chi Feng dalam perjalanan menuju sekolah, ia menjumpai seorang yang telah membeku kedinginan tetapi masih bernafas, dia segera membuka mantelnya dan membalut badan orang tersebut lalu membawanya pulang dan menyelamatkannya. Malam itu dia bermimpi bahwa seorang Dewa berkata kepadanya: “Anda telah menolong seorang yang hampir meninggal dengan ketulusan yang dalam, ini adalah sebuah kebajikan yang sangat besar. Saya akan mengutus Jenderal Han Chi yang terkenal dari kerajaan Sung untuk dilahirkan sebagai anak anda”. Anak tersebut lahir dan diberi nama Chi.
Contoh nyata lain adalah Ta Jo Ying, seorang sekretaris pemerintah yang tinggal di Taichou. Ketika dia masih muda, dia selalu tinggal di sebuah gunung yang jauh. Malam hari, dia selalu mampu mendengar dan mengerti suara-suara hantu dan makhluk halus tetapi dia tidak pernah merasa takut. Suatu hari dia mendengar satu hantu berkata dengan gembiranya kepada hantu yang lain:
“Ha, ha, ha,…, ada seorang wanita kampung yang suaminya telah lama meninggalkan rumah dan tidak kembali. Mertuanya berpikir anak mereka telah meninggal dan memaksanya untuk menikah lagi. Besok malam, dia akan membunuh diri dan akan menggantikan saya, lalu saya dapat reinkarnasi/lahir kembali, ha, ha, ha,…”
Roh dari orang yang membunuh diri harus menunggu orang yang juga membunuh diri di tempat yang sama, agar dapat meninggalkan alam hantu tersebut dan dapat lahir kembali ke alam yang lebih baik/tinggi.
Tuan Ying mendengar ini, segera pulang menjual tanah dan rumahnya, mendapat 4 lian uang perak, dia menulis sepucuk surat atas nama suami wanita kampung tersebut dan dikirim beserta 4 lian uang perak ke rumah wanita tersebut. Mertua wanita itu mendapati bahwa surat itu bukan tulisan anaknya dan menyelidiki uang perak lalu berkata: “Surat mungkin palsu, tetapi perak ini adalah benar. Siapa yang akan mengirim begitu banyak uang? Mungkin anak kita masih hidup, kita tidak boleh memaksa menantu kita menikah lagi”.
Karena itu, wanita tersebut tidak jadi membunuh diri dan pada akhirnya suaminya kembali ke rumah. Tuan Ying mendengar hantu berbicara lagi “Hah! Sebenarnya saya dapat reinkarnasi lagi, tetapi Tuan Ying telah menghancurkan kesempatan saya!” Hantu yang kedua berkata: “Mengapa tidak anda celakai dia saja?” Hantu pertama menjawab: “Tidak, saya tidak boleh. Karena Yang Kuasa mengetahui kebajikannya dan telah menunjuknya menjabat posisi penting di alam kita kelak, bagaimana saya berani mencelakainya” Setelah Tuan Ying mendengar ini, dia menjadi lebih rajin mempraktekkan kebaikan dan mengumpulkan kebajikan. Suatu saat terjadi kelaparan, dia membeli makanan untuk yang miskin dan yang memerlukan, selalu bersemangat membantu orang yang mengalami kesulitan darurat. Bila sesuatu berjalan tidak lancar, dia selalu introspeksi diri daripada berkeluh kesah menyalahi orang lain, bahkan sampai hari ini, keturunannya masih tetap makmur.
Ada seorang yang bernama Feng Chu Hsu yang tinggal di Chanso, Propinsi Chiangsu, ayahnya sangat kaya. Bila ada bencana kelaparan, ayahnya selalu menyumbang padi dan seluruh uang hasil sewa sawah kepada yang miskin. Suatu malam, dia mendengar hantu bernyanyi di luar rumahnya : “Bukan bercanda! Bukan bercanda! Seorang dari keluarga Hsu akan lulus ujian negara!”
Hal ini terjadi beberapa hari dan benar saja, tahun itu anaknya Feng Chu lulus ujian. Sejak itu, dia lebih rajin dan tekun melakukan kebaikan dan mengumpulkan kebajikan. Dia selalu memperbaiki jembatan-jembatan yang rusak, melayani orang-orang yang sedang berpergian dan Bhiksu-bhiksu. Suatu hari dia mendengar hantu bernyanyi lagi: “Bukan bercanda! Bukan bercanda! seorang dari keluarga Hsu akan lulus level tinggi ujian negara”.
Benar, Feng Chu lulus ujian negara tingkat tinggi dan menjadi Gubernur di dua propinsi.
Contoh cerita nyata lain adalah seorang yang bernama Kung Shi Tu yang tinggal di Chia Shing, propinsi Chehkiang. Tuan Tu bekerja di pengadilan dan selalu bermalam di penjara berbicara dengan para tawanan. Bila dia menemui ada yang tidak bersalah, dia akan menulis surat keterangan untuk menjernihkan perkara terdakwa tersebut dan diserahkan kepada hakim untuk ditindak lanjuti. Hakim akan menyelidiki dan membebaskan dakwaannya.
Karena usaha Tuan Tu ini, sepuluh orang yang benar-benar tidak terlibat dalam kasus kriminal sesuai yang didakwa kepadanya dapat dibebaskan dan mereka sangat berterima kasih kepada hakim yang bijaksana tersebut. Tuan Tu yang secara diam-diam membiarkan hakim yang menerima jasa atas perbuatannya, juga menulis surat kepada Hakim Agung yang mengatakan: “Bahkan di pengadilan kota banyak tawanan yang sebenarnya tidak bersalah, apalagi di seluruh negeri, saya menyarankan agar hakim agung setiap lima tahun sekali mengutus penyelidik untuk memeriksa kembali kasus kriminal tawanan, hukuman dapat dikurangi atau dibebaskan untuk mencegah tawanan yang tidak bersalah tetap ditahan di penjara”.
Hakim Agung menyampaikan sarannya kepada raja dan disetujui. Tuan Tu diangkat juga sebagai salah seorang penyelidik untuk mengurangi hukuman tawanan yang tidak bersalah. Suatu malam dia bermimpi seorang Malaikat mendatangi dia dan berkata: “Sebenarnya anda tidak berhak untuk mendapat seorang anak pada kehidupan ini, akan tetapi karena tindakan anda untuk mengurangi hukuman tawanan orang yang tidak bersalah adalah sesuai dengan keinginan Yang Kuasa, anda akan dianugrahi tiga anak dan mereka semua akan berpangkat tinggi”.
Setelah itu, istrinya hamil dan melahirkan tiga orang anak dan semua menjadi orang terpandang dalam masyarakat.
Contoh cerita nyata lain adalah Tuan Ping Bao yang tinggal di Chianshing. Ping adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara dari seorang pejabat di Chichou, Propinsi Anhui. Dia menikah dengan seorang putri dari keluarga Yuan di Propinsi Pinghu dan adalah teman baik kakek anda. Ping Bao sangat pintar dan berpengetahuan luas, akan tetapi tidak pernah lulus ujian negera. Dia mempergunakan seluruh waktunya untuk menekuni ajaran Buddha dan Tao.
Suatu hari, ketika dia sedang mengadakan perjalanan ke Danau Liu, dia tiba di sebuah kampung dan melihat sebuah Vihara usang yang sangat memerlukan renovasi. Dia melihat rupang Boddhisattva Guan Yin berdiri dalam keadaan basah kuyup kehujanan karena atap gentengnya retak. Ping mengeluarkan semua uangnya diberikan kepada Bhiksu pemilik Vihara untuk biaya renovasi Vihara tersebut. Bhiksu tersebut berkata: “Ini adalah pekerjaan besar, saya takut uang ini tidak cukup untuk memenuhi keinginan anda”. Ping Bao lalu mengeluarkan semua barang dan pakaian mewah miliknya dan menyerahkan kepada Bhiksu tersebut. Pelayannya coba membujuknya untuk tetap mempertahankan pakaian mahal tersebut, tetapi dia menolak dan berkata: “Itu tidak masalah bagi saya, yang penting rupang Boddhisattva Guan Yin tetap baik, tidak masalah bagi saya bila tidak memakai pakaian ini”. Mendengar perkataan Ping Bao, Bhiksu tersebut dengan berlinang air mata berkata: “Memberi uang dan pakaian bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, tetapi ketulusan yang dalam dari Anda sangat berharga dan sulit ditemukan”.
Setelah Vihara tersebut selesai direnovasi, Ping Bao membawa ayahnya mengunjungi dan menginap di Vihara tersebut. Malam itu, Ping bermimpi bahwa Satria Pelindung Dharma Vihara yang bernama Chie Lan, mengucapkan terima kasih dengan berkata: “Karena kebajikan anda ini, anak dan keturunan anda akan mendapat jabatan tinggi di pemerintah untuk jangka waktu yang lama”. Akhirnya, anak dan cucu kedua-duanya lulus dalam ujian negara dan diangkat sebagai pejabat negara.
Contoh nyata lain adalah seorang yang bernama Li Chi dari propinsi Jian Shu, ayahnya adalah seorang pegawai di pengadilan propinsi. Suatu ketika, ayah Li mengetahui bahwa ada seorang tawanan dihukum mati, dia berusaha memohon keringanan hukuman untuk tawanan ini. Ketika tawanan ini mengetahui usaha ayah Li untuknya, dia berkata kepada istrinya: “Saya begitu berhutang budi kepada orang ini, tetapi saya tidak ada cara untuk membalasnya, maukah anda mengundangnya ke rumah dan menikahinya? Mungkin ini akan menyenangkannya dan kesempatan saya untuk hidup lebih besar lagi”. Istri tawanan tersebut menangis dan mendengarkan permintaan suaminya, dia tidak ingin melakukannya, tetapi hanya cara inilah dia dapat menolong suaminya pada saat ini. Karena itu, pada saat ayah Li datang berkunjung ke rumahnya pada hari berikutnya, dia menawarkan minuman arak dan menyampaikan keinginan suaminya. Ayah Li menolak tawarannya untuk menikah, tetapi tetap berusaha keras menjernihkan kasus tersebut. Akhirnya tawanan tersebut dibebaskan, dia bersama istrinya datang ke rumah ayah Li untuk berterima kasih dan berkata: “Kebajikan yang seperti anda lakukan ini adalah sangat sulit ditemukan pada zaman ini, bagaimana saya membalas budi anda? Anda tidak mempunyai anak laki-laki, bagaimana kalau anda menikahi putri saya, hanya inilah cara saya membalas budi anda, terimalah!” Ayah Li menerimanya dan segera melahirkan seorang anak laki-laki dan diberi nama Li Zhi. Li lulus ujian negara tingkat tinggi pada saat dia hanya berumur dua puluh tahun. Anak Li yang bernama Gao, cucu dari Lu dan cicitnya Da Wun semua lulus ujian negara level tinggi dan diangkat sebagai pejabat pemerintah.
Sepuluh contoh di atas semua menceritakan kebajikan yang berbeda dan dilakukan orang yang berbeda pula. Walaupun perbuatannya berbeda, tetapi tujuannya sama yaitu “berbuat baik”. Bila kita lebih mendalam meneliti kebajikan, kita akan menemukan banyak perbedaan.
Ada kebajikan yang sejati dan palsu, kebajikan yang lurus dan kebajikan yang miring, kebajikan yang tersembunyi (Yin) dan kebajikan yang terbuka (Yang), yang benar dan salah, yang tegak atau yang condong, yang penuh atau setengah penuh, yang besar atau yang kecil, yang mudah dan yang sulit.
Perbedaan jenis-jenis kebajikan ini masing-masing mempunyai peraturannya tersendiri yang harus benar-benar dipelajari dan dimengerti. Jikalau tidak, kadang kala kita mengira telah berbuat kebaikan, tetapi sebaliknya kita malah berbuat kesalahan. Sekarang saya akan menjelaskan perbedaan jenis-jenis kebajikan tersebut satu persatu.
Apa yang disebut kebajikan sejati dan palsu? Pada zaman dinasti Yuan, sekumpulan pelajar mengunjungi guru besar Jung Feng di Gunung Tianmu, satu murid berkata: “Buddha selalu mengajarkan hukum karma, yang baik dan buruk adalah ibarat bayangan badan, akan mengikuti kemana saja kita pergi”.
Ini menjelaskan bahwa perbuatan baik selalu mengundang keberuntungan dan berbuat jahat selalu mengundang bencana.
Lalu mengapa ada orang yang berbuat baik, tetapi keluarga dan keturunannya malah hidup menderita, di lain pihak, orang yang selalu banyak membuat kejahatan mendapat kehidupan baik, mana hukum sebab akibatnya? Apakah tidak ada standarnya dalam ajaran Buddha?
Guru Jung Feng berkata: “Manusia umumnya buta oleh kejadian sehari-hari, mereka tidak membersihkan pikiran mereka dari hal-hal yang tidak baik dan salah persepsi, karena itu perbuatan yang baik dianggap salah dan yang salah dianggap betul, ini sudah umum pada zaman sekarang. Lagi pula, orang-orang ini tidak menyalahi diri atas kesalahan persepsi ini, malah menyalahi Yang Kuasa tidak adil atas nasibnya yang jelek ini!”
Murid kedua berkata: “Yang baik adalah baik dan yang jelek adalah jelek, bagaimana mereka dapat salah menafsir?” Setelah mendengar ini, guru Jung Feng meminta mereka masing- masing mengeluarkan pendapat masing-masing tentang apa yang baik dan apa yang salah. Murid ketiga berkata: “Memarahi dan memukul orang lain adalah salah, menghormati orang lain adalah baik”. Guru menjawab: “Belum tentu”. Murid keempat berkata: “Tamak dan mengambil uang orang lain adalah salah, mengalah adalah benar”. Guru menjawab: “Belum tentu”. Murid-murid lain semua mengatakan ini adalah benar, itu adalah salah, akan tetapi guru selalu menjawab: “Belum tentu”. Lalu murid-murid bertanya: “Apa yang dianggap baik dan yang salah?”
Guru Jung Feng menjawab: “Berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain adalah baik, untuk kepentingan diri sendiri adalah salah. Bila kita berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain, tidak masalah bila kita memarahi atau memukul orang tersebut, ini adalah tetap dianggap baik. Bila tujuan kita adalah untuk kepentingan diri sendiri, tidak peduli bagaimana kita bersikap mengalah atau sopan santun, tetap dianggap salah”.
Karena itu, bila kita berbuat sesuatu hanya untuk kepentingan orang lain, orang banyak, ini adalah kebajikan sejati. Bilamana berbuat sesuatu hanya untuk kepentingan diri sendiri, ini adalah kebajikan palsu.
Bila kebajikan tersebut benar-benar bersumber dari hati nurani kita, ini adalah kebajikan sejati, bila kita berbuat kebaikan hanya karena ini adalah baik, maka dianggap kebajikan palsu. Sebagai tambahan, bila kita berbuat kebaikan tanpa mengharapkan balasan, ini adalah kebajikan sejati, kita berbuat baik untuk tujuan tertentu diri sendiri, ini adalah kebajikan palsu. Orang yang ingin mempraktekkan kebajikan perlu merenungkan perbedaan ini.
Apa yang dimaksud kebajikan lurus dan miring. Kita sering menganggap orang yang ramah adalah orang baik, tetapi orang bijak dan orang suci menganggap orang yang berani berbuat dan bercita-cita tinggi adalah orang baik.
Ini karena orang berani berbuat dan bercita-cita tinggi mudah dididik dan dibimbing dan mungkin kelak akan berhasil meraih cita-citanya dengan cemerlang. Sedangkan orang yang terlalu hati-hati dan kaku tidak dapat berbuat sesuatu yang cemerlang.
Untuk orang yang selalu bertindak kaku dan terlalu hati-hati, mungkin mereka selalu disenangi semua orang, tetapi karena kepribadiannya yang lemah, mereka sangat mudah terbawa arus, tidak dapat berbuat apa-apa. Orang suci selalu berkata bahwa orang jenis ini adalah pencuri kebajikan. Dari sudut pandang ini, kita dapat melihat bahwa pandangan orang suci adalah sangat berbeda dengan orang awam.
Apa yang dianggap baik oleh orang awam, orang suci menganggap tidak baik, apa yang dianggap tidak baik oleh orang awam, orang suci menganggapnya baik.
Langit, Bumi, Dewa/Dewi, Malaikat mempunyai pandangan yang sama dengan orang suci. Orang baik diberi berkah, orang jahat dihukum. Apapun tanggapan orang suci bahwa suatu hal ini baik, mereka juga beranggapan demikian, mereka tidak menilai sesuatu dari segi pandangan orang awam. Karena itu, seseorang yang ingin mengumpulkan kebajikan jangan tertipu dan terpengaruh oleh hanya untuk memenuhi dan menyesuaikan pandangan dan kebiasaankebiasaan umum manusia di masyarakat. Sebaliknya, mereka harus melatih diri agar selalu jujur dan rendah hati, tidak hanya ingin mencari nama atau menyenangkan orang dengan tujuan mendapat simpati. Seseorang harus selalu berusaha mempertahankan kemurnian hatinya jangan sampai terjadi penyimpangan.
Kebajikan lurus berasal dari keinginan yang selalu hendak menolong orang lain.
Kebajikan miring timbul atas kerakusan untuk menyenangkan orang lain untuk mendapat simpati dan selalu berpura-pura. Memberikan kasih sayang kepada orang lain adalah kebajikan lurus. Iri hati, kemarahan adalah kebajikan miring.
Kebajikan lurus adalah bila seseorang bersikap sopan, kebajikan miring adalah bila seseorang bersikap tidak tulus.
Apa yang dimaksud dengan kebajikan tersembunyi (Yin) dan kebajikan terbuka (Yang).
Bila seseorang berbuat baik dan orang lain mengetahuinya, ini disebut kebajikan Yang, bila orang berbuat baik dan tidak ada orang yang mengetahuinya, ini yang disebut kebajikan Yin. Kebajikan Yin pasti diketahui Langit/Tuhan dan sudah tentu akan diberi berkah yang berlimpah-limpah, orang yang mempraktekkan kebajikan yang diketahui orang hanya akan menikmati reputasi yang baik.
Reputasi adalah suatu rezeki, tetapi Yang Kuasa menganggap ini adalah suatu pantangan dan tidak memberkahi orang yang mencari reputasi.
Kita dapat melihat, bahwa orang yang mempunyai reputasi tinggi, tetapi tidak didukung oleh perbuatan kebajikan, lambat laun malah merupakan suatu bencana, karena orang lain iri dan ingin mencelakakannya. Seorang yang benar-benar tidak melakukan kesalahan dan selalu mau menerima fitnahan/caci maki orang tanpa membalas atau membela diri untuk hal-hal yang tidak dilakukannya, kelak keturunannya akan makmur mendadak dan berhasil.
Dengan ini, kita dapat melihat betapa pentingnya untuk mengerti perbedaan-perbedaan kecil antara kebajikan Yin dan Yang, jangan sampai salah menafsirkannya.
Dalam melaksanakan kebaikan, ada juga yang kadang kita anggap sebagai suatu kebaikan, tetapi nyatanya tidak demikian, dan apa yang kita anggap tidak baik, ternyata adalah baik. Ini adalah kebajikan benar dan salah. Sebagai salah satu contoh, pada zaman Chun Chiu, ada sebuah kerajaan yang bernama Lu, saat itu ada kerajaan lain yang memperbudakkan rakyat kerajaan Lu. Pemerintah kerajaan Lu mengeluarkan peraturan bahwa barang siapa yang menebus kebebasan rakyat kerajaan Lu yang diperbudak tersebut, akan mendapat hadiah dari pemerintah. Saat itu, seorang murid Konghucu yang bernama Dz Gong membayar uang tebusan membebaskan budak-budak tersebut, tetapi dia tidak mau menerima hadiah yang diberikan pemerintah.
Setelah Konghucu mengetahui hal ini, Beliau sangat tidak senang dan berkata :”Dz Gong, anda telah berbuat kesalahan”. Pandangan orang suci/bijak berbeda dengan orang awam, mereka melihat secara keseluruhan pengaruh suatu tindakan terhadap masyarakat banyak, mereka mau mengajarkan rakyat agar membangun suatu kebiasaan baik, suatu standard sikap yang baik, suatu moralitas. Bukan melakukan suatu tindakan hanya karena keinginan seseorang. Rakyat kerajaan Lu lebih banyak yang miskin, dengan menolak hadiah pemerintah, tindakan Dz Gong telah mempengaruhi pikiran rakyat, bahwa menerima hadiah adalah tamak. Sehingga bagi orang yang tidak mau dikatakan sebagai orang tamak atau berbuat demikian karena hanya menginginkan hadiah pemerintah saja, akan segan/tidak mau menebus budak-budak tersebut. Bila ini terjadi, kelak tidak akan ada orang yang mau menebus budak-budak rakyat tersebut lagi. Sehingga peraturan yang baik itu tidak berfungsi dan gagal.
Bila ingin memotivasi semua orang untuk berbuat baik, Dz Gong seharusnya menerima hadiah pemerintah ini, bukan untuk keinginan dirinya, tetapi untuk mempengaruhi masyarakat banyak, sehingga mereka juga termotivasi mau menebus budak.
Seorang murid lain Konghucu yang bernama Dz Lu, suatu ketika melihat seorang hanyut di sungai dan menolongnya. Belakangan, orang tersebut memberi Dz Lu seekor kerbau sebagai tanda terima kasih. Dz Lu menerima hadiah itu. Konghucu sangat senang melihat tindakan Dz Lu dan berkata: “Di masa yang akan datang, rakyat kerajaan Lu akan banyak yang menolong orang yang hanyut di sungai daripada menolong orang yang dalam kesusahan”.
Menurut pandangan orang awam, pasti menilai bahwa Dz Gong yang tidak menerima hadiah uang adalah baik, Dz Lu yang menerima hadiah kerbau adalah tidak baik. Siapa yang mengetahui bahwa Konghucu malah memuji Dz Lu dan memarahi Dz Gong? Dari ini, kita dapat melihat bahwa orang yang akan berbuat baik janganlah hanya melihat pengaruh masa sekarang saja. Tetapi juga mempertimbangkan pengaruhnya untuk jangka panjang.
Seseorang berbuat baik janganlah hanya melihat untung dan rugi bagi dirinya . . . tetapi lihatlah dampaknya bagi publik, dampak yang positif atau negatif.
Apa yang kita buat sekarang mungkin baik . . . tetapi untuk masa yang akan datang mungkin akan mencelakakan/merugikan orang.
Karena itu, apa yang kelihatan baik mungkin sebenarnya adalah lawannya dan yang lawan ini suatu ketika mungkin menjadi baik.
Ada banyak hal yang selalu dibuat orang, tetapi kadangkala terbukti bahwa hal tersebut akan lebih baik dibiarkan saja, jangan dilakukan. “Memaafkan” adalah sebuah sikap kebajikan, tetapi tidak bisa dilaksanakan tanpa suatu alasan dan kebijaksanaan. Bila kita dengan mudah memaafkan seorang kriminal dan melepaskannya sebelum dia sadar akan kejahatannya dan mengubah diri. Kita akan memberikan sebuah ancaman bagi masyarakat, menyebabkan lebih banyak bahaya daripada kebaikan. Dalam hal ini “memaafkan” adalah tidak cocok, orang itu lebih baik dibiarkan tetap dipenjara, sehingga tidak menimbulkan keresahan masyarakat lingkungannya.
Contoh lain “memuji” orang adalah suatu sikap baik, tetapi bila terlalu berlebihan, akan membuat mereka menjadi sombong dan angkuh. “Memegang janji” adalah sikap baik, tetapi bila karena memegang janji secara membabi buta, sehingga menyebabkan bencana besar, karena itu haruslah mempertimbangkan dengan baik dan pikiran yang tenang.
“Kasih sayang” adalah karakter baik, tetapi jikalau karena kasih sayang, sehingga membiarkan orang berbuat seenaknya, kasih sayang kita telah mencelakakan dia, kita membuatnya berani dan bertindak sewenang-wenang, mengakibatkan kekacauan dan bencana yang lebih besar kelak. Ini bukanlah “kasih sayang”.
Dahulu ada seorang laki-laki dihukum mati karena merampok dan membunuh, saat detik-detik terakhir ditanya apa permintaan terakhirnya? Dia menjawab bahwa ingin bertemu dengan ibunya. Saat ibunya datang, menangis tersedu-sedu dan memeluknya, tahu-tahu dia menggigit kuping ibunya sampai putus dan berkata: “Sekarang saya dihukum mati karena kesalahan ibu, semasa kecil bila saya mengambil barang-barang kecil teman dan berbuat kesalahan, ibu tidak menegur bahwa itu adalah salah dan tidak melarang saya, sehingga menjadi kebiasaan saya dan makin lama makin menjadi, sehingga jadi perampok ulung dan pembunuh”. Ibunya sangat menyesal dan menangis terisak-isak. Akan tetapi sesal kemudian tidak ada gunanya. Hati-hatilah, jangan sampai “kasih sayang” malah mencelakai orang yang kita sayangi. Orang tua-lah yang bertanggung jawab berat atas segala perbuatan baik/buruk anak. Orang tua juga yang akan menerima pahala atas perbuatan baik anak dan menanggung dosa yang dibuat anak.
Demikian juga halnya bagi seorang raja/pimpinan negara, haruslah berperan sebagai seorang pemimpin, orang tua, guru bagi rakyat, sehingga dia harus memikul tanggung jawab yang sangat berat atas segala perbuatan baik dan tidak baik rakyat. Bila seluruh rakyat berbuat kebajikan, maka kebajikan ini adalah karena jasa raja/pimpinan negara dapat memimpin dengan baik, maka pahala raja/pimpinan negara tersebut adalah luar biasa. Akan tetapi bila rakyat berbuat kejahatan, maka dosa yang harus ditanggung raja/pimpinan negara adalah lebih dalam dari lautan.
Yang disebut di atas adalah contoh-contoh yang kelihatannya adalah kebaikan, tetapi sebenarnya tidak. Ini harus benar-benar direnungkan. Apa yang dimaksud kebajikan tegak dan condong. Pada zaman dinasti Ming, ada seorang Perdana Menteri yang berwibawa bernama Wen Yi Lyu. Setelah pensiun, Beliau pulang ke kampung halamannya, di sana Beliau sangat dihormati dan disegani. Suatu ketika, seorang pemabuk datang ke rumah dan mencaci makinya. Tuan Lyu tidak marah dan berkata kepada pembantunya: “Orang ini mabuk, biarkan saja”. Orang ini semakin lama semakin membuat kejahatan berat, akhirnya ditangkap dan dimasukkan penjara menunggu saat hukuman mati. Setelah mendengar berita ini, Tuan Lyu dengan menyesal berkata: “Dulu saat dia mabuk mencaci maki saya, jika saya melapor polisi untuk menghukumnya atas kesalahan yang telah dibuatnya, hukuman kecil akan menyadarkannya, agar dapat lebih disiplin, sehingga tidak membuat kejahatan besar, maka sekarang dia tidak dihukum mati. Dulu karena berhati baik dan takut disalah pahami oleh orang2 bahwa mempergunakan kekuasaan menindas rakyat kecil, malah mencelakakan dia, mendapat hukuman mati”. Ini adalah sebuah contoh bahwa karena berhati baik malah menjadi sebuah bencana.
Ini adalah contoh bahwa karena berbaik hati, malah membuat kesalahan. Di bawah ini diberi contoh lagi tentang kelihatannya seseorang berbuat tidak baik tetapi sebenarnya berbuat baik.
Suatu ketika ada sebuah daerah karena kekurangan makanan sehingga banyak orang mengalami kelaparan. Perusuh-perusuh di siang bolong merampok di mana-mana. Ada satu keluarga kaya melapor kepada polisi, tetapi polisi tidak menghiraukan, maka para perusuh semakin berani dan situasi bertambah parah dan mencekam. Dalam keadaan terpaksa keluarga kaya itu mengambil tindakan dan menghakimi sendiri dengan menangkap dan menghukum para perampok tersebut. Dengan cara ini, tempat itu menjadi aman dan perusuh-perusuh tidak berani merampok lagi. Sikap ego yang dilakukan keluarga kaya tersebut, akibatnya menguntungkan setiap orang.
Karena itu, kita tahu bahwa berbuat baik adalah tegak dan berbuat salah adalah condong. Bila ada kasus yang perbuatannya berdasarkan maksud baik berakibat buruk dan perbuatan dengan maksud tidak baik tetapi berakibat baik. Ini menjelaskan bahwa walaupun dengan maksud baik berbuat sesuatu berakibat tidak baik, disebut kebajikan condong. Dengan maksud tidak baik tetapi berakibat baik, disebut kebajikan tegak.
Ini adalah pengetahuan yang harus kita tahu agar dapat hidup dengan baik.
Apa yang dimaksud dengan kebajikan penuh dan kebajikan setengah?
Dalam buku I Ching tertulis . . . .
Tidak mengumpulkan kebajikan tidak akan mendapatkan keberuntungan, tidak mengumpulkan kejahatan tidak akan binasa.
Penentuan masa depan kita adalah tergantung pada pengumpulan kebajikan dan kesalahan kita. Ibarat mengumpulkan barang dalam tong, bila rajin mengumpulkannya akan penuh dan bila malas mengumpulkannya tidak akan penuh.
Suatu ketika ada seorang wanita miskin mengunjungi sebuah Vihara dan ingin menyumbang untuk upacara ritual penyesalan kesalahan/karma buruk yang telah dibuatnya di masa lalu serta memohon berkah di depan Buddha, namun karena sangat miskin, dia hanya dapat menemukan uang 2 sen di kantongnya dan menyumbangkannya. Dia sangat heran, karena ketua Bhiksu tersebut sendiri yang melaksanakan upacara ritual tersebut. Belakangan, wanita ini terpilih sebagai dayang di istana dan membawa ribuan uang emas untuk menyumbang lagi kepada Vihara tersebut, tetapi ketua Bhiksu hanya menyuruh muridnya melakukan ritual tersebut. Wanita tersebut dengan heran bertanya kepada Bhiksu: “Dulu saya hanya menyumbang 2 sen, Bhiksu sendiri yang memimpin upacara ritual ini, hari ini saya memberi ribuan uang emas, mengapa Bhiksu tidak membantu saya melakukan upacara ini?” Ketua Bhiksu menjawab: “Walaupun dulu sumbangan Nyonya hanya 2 sen, tetapi ini adalah bersumber dari hati yang tulus, perlu saya sendiri yang melakukan upacara agar dapat membalas ketulusan hati Nyonya, hari ini, walaupun sumbangan Nyonya banyak, tetapi hati Nyonya tidak setulus dulu, karena itu, cukup hanya murid saya yang melakukannya”. Sumbangan uang 2 sen adalah yang dimaksud “kebajikan penuh” dan sumbangan ribuan uang mas adalah yang dimaksud “kebajikan setengah”.
Contoh lain adalah seorang dewa yang bernama Li Jung dari Dinasti Han. Dewa Li mengajak muridnya Dong Bing Lyu suatu ilmu mengubah besi menjadi emas. Mereka akan menggunakan emas ini untuk menolong yang miskin. Dong Bing bertanya kepada gurunya . . . Apakah emas ini akan berubah kembali menjadi besi?
Guru menjawab: “Setelah 500 tahun kemudian, emas ini akan berubah kembali menjadi wujud semula”. Dong Bing berkata: “Kalau begitu, saya tidak ingin mempelajari ilmu ini, karena akan merugikan orang yang memperoleh emas ini 500 tahun kemudian”.
Sebenarnya Li Jung hanya ingin menguji hati muridnya dan dengan gembira ia berkata: “Untuk melatih diri mencapai tingkat dewa, seseorang harus membuat 3.000 jenis kebajikan. Apa yang anda katakan tadi adalah bersumber dari hati nurani anda yang tulus, 3.000 jenis kebajikan yang harus anda laksanakan telah terpenuhi”.
Contoh lain untuk kebajikan penuh dan setengah. Ketika kita berbuat kebaikan, sangatlah baik bila kita membuatnya berdasarkan ketulusan yang sangat dalam, jangan untuk mendapat perhatian atau hadiah dan jangan diingat berapa banyak saya telah berbuat kebaikan. Dengan demikian, walaupun perbuatan baik yang sangat kecil akan menghasilkan buah yang baik. Sebaliknya, bila kita berbuat baik dengan maksud tertentu mengharapkan balasan, maka walaupun kita rajin berbuat kebajikan, bahkan berbuat baik seumur hidup kita, kebajikan yang kita buat tersebut hanyalah dinilai kebajikan setengah.
Sebagai contoh, saat kita menyumbang fakir miskin, kita dapat mempraktekkan apa yang disebut “sumbangan murni”, misalnya: Kita menyumbangkan uang, dalam pikiran kita jangan terus tertinggal pikiran bahwa “saya yang menyumbang, barang-barang yang telah disumbangkan, kepada siapa yang telah saya sumbang”, ini yang disebut “tiga perputaran wujud yang kosong”, ini adalah berarti hati yang benar-benar murni dan tulus. Bilamana tidak demikian, maka kita hanya sekedar memberi dan tidak dengan ketulusan yang dalam. Bila kita dapat memberi dengan “sumbangan murni”, maka satu dou beras yang disumbangkan akan membawakan keberuntungan tidak terhingga dan satu sen yang disumbangkan dapat menghapus dosa kita yang telah dibuat ribuan eons (lamanya waktu yang tidak dapat dihitung dengan angka lagi). Ini adalah kebajikan penuh.
Bila kita terus mengingat kebaikan yang telah dibuat dan mengharapkan balasan atas perbuatan kita, maka walaupun menyumbangkan 200 keping emas bukan merupakan kebajikan penuh.
Apa yang dimaksud kebajikan besar dan kebajikan kecil? Dahulu ada seorang pejabat yang bernama Jung Da Wei, rohnya dibawa ke akhirat untuk diadili. Hakim memesan anak buah untuk membawa catatan perbuatan baik dan buruk semasa hidupnya. Ketika catatan tersebut tiba, Jung Da sangat kaget melihat catatan perbuatan buruknya banyak sekali memenuhi ruang sidang, sedangkan catatan perbuatan baiknya hanya satu gulungan kecil. Pegawai pengadilan diperintahkan untuk menimbang kedua jenis catatan tersebut. Sangat mengherankan, catatan perbuatan buruk yang banyak tersebut malah lebih ringan dari catatan perbuatan baik satu gulungan kecil yang hanya setipis sebuah sumpit. Jung Da bertanya kepada hakim akhirat . . . Saya baru saja berumur 40 tahun, bagaimana saya dapat berbuat begitu banyak kesalahan/kejahatan? Hakim menjawab: “Bila timbul satu niat tidak baik, ini sudah termasuk kesalahan, bukan harus telah berbuat baru dianggap kesalahan. Sebagai contoh, bila Anda melihat seorang perempuan cakap lalu timbul niat tidak baik, ini telah dianggap sebagai kesalahan”.
Jun Da lalu bertanya apa yang tercatat dalam catatan perbuatan baik tersebut yang bisa lebih berat dari catatan-catatan perbuatan buruk yang banyak tersebut. Hakim menjawab . . . Suatu ketika raja merencanakan membangun sebuah jembatan batu raksasa, Anda mengajukan usulan untuk tidak dilaksanakan rencana tersebut karena ini adalah sebagai proyek yang sangat berat dan akan menyengsarakan puluhan ribu rakyat yg dipekerjakan. Ini adalah salinan dari usulan Anda untuk raja. Jun Da berkata: “Memang saya membuat usulan tersebut, tetapi usulan tersebut ditolak, bagaimana dapat bisa lebih berat dari kesalahan-kesalahan yang banyak itu?”
Hakim menjawab: “Walaupun raja tidak menerima usulan Anda, tetapi niat Anda yang baik ini untuk menyelamatkan penderitaan puluhan ribu rakyat adalah sangat besar. Bila raja menerima usulan Anda, kebajikannya akan jauh lebih besar lagi”.
Oleh karena itu, bila seseorang berniat berbuat baik untuk manfaat semua orang, sebuah perbuatan baik yang kecil merupakan pahala yang tidak terhingga besarnya. Ini yang disebut kebajikan besar.
Bila seseorang hanya memikirkan keuntungan sendiri saja, maka walaupun dia banyak membuat hal-hal yang baik, tetapi pahalanya adalah sangat kecil. Ini adalah kebajikan kecil.
Apa yang dimaksud kebajikan sulit dan kebajikan mudah? Cendekiawan kuno selalu berkata . . . Bila seseorang hendak melatih diri agar hidup disiplin diri dan berbuat baik, dia harus memulai dari perbuatan/kebiasaannya yang paling sulit diatasi, secara otomatis kebiasaan kecil tidak akan terulang lagi.
Fan Chr, adalah seorang murid Konghucu, suatu ketika bertanya kepada gurunya bagaimana seseorang dapat melatih diri agar ber-prikemanusiaan yang sangat dalam. . . ? Konghucu menjawab: “Mulai dari yang paling sulit dipraktekkan”.
Yang dimaksud Konghucu “yang paling sulit” adalah menghapuskan pikiran ego, seseorang harus mempraktekkan untuk menaklukkan apa yang paling sulit untuk ditaklukkan. Kita dapat meniru perbuatan seorang guru tua yang bernama Tuan Su dari daerah Chiang Shi, dia memberikan uang senilai 2 tahun gajinya kepada sebuah keluarga miskin untuk membayar denda pemerintah, sehingga keluarga tersebut tidak terpecah, kalau tidak suaminya akan dipenjarakan dan tidak ada yang mencari nafkah.
Contoh lain adalah Tuan Jang dari daerah Herbei. Tuan Jang melihat seorang yang sangat miskin yang terpaksa menggadaikan istri dan anaknya karena tidak memiliki uang untuk membayar utangnya atau istri dan anaknya akan kehilangan nyawa.
Karena itu, Tuan Jang memberikan tabungan yang ditabungnya selama sepuluh tahun kepada orang miskin tersebut, sehingga keluarganya dapat berkumpul kembali.
Contoh seperti Tuan Su dan Tuan Jang adalah sangat sulit ditemukan, mereka memberikan apa yang paling sulit untuk diberikan, yang orang lain tidak mungkin korbankan, tetapi mereka memberikan dengan sukarela. Contoh lain adalah Tuan Jin dari propinsi Chiangsu, dia sudah tua dan tidak mempunyai anak, tetangganya menawarkan putri bungsunya untuk dinikahkan dengan Tuan Jin agar mempunyai keturunan. Tetapi Tuan Jin tidak tega menghancurkan masa depan yang cerah dan panjang putri tetangganya serta menolak penawaran tersebut dan memulangkan putri tetangganya itu ke rumahnya kembali.
Ini adalah contoh lain dari dapat menaklukkan apa yang paling sulit untuk ditaklukkan oleh seseorang. Karena itu Yang Kuasa memberkati ketiga orang ini, keberuntungan yang luar biasa atas perbuatan istimewa mereka. Adalah lebih mudah bagi orang yang berkuasa dan kaya untuk mengumpulkan kebajikan dibandingkan dengan orang yang miskin. Adalah sangat memalukan bila seseorang menolak untuk berbuat baik walaupun itu adalah hal yang sangat mudah baginya dan mempunyai banyak kesempatan. Adalah sangat sulit bagi orang yang miskin dan tidak berkuasa untuk membantu orang lain, tetapi dalam keadaan yang sulit ini, seseorang tetap berusaha untuk membantu orang lain, pahalanya adalah tidak terhingga.
Sebagai seorang yang bermoral, pada saat berhubungan dengan orang lain atau hal, kita membantu, bila ada kesempatan yang datang dengan sendirinya. Membantu yang lain bukanlah tugas yang mudah tetapi mempunyai banyak cara untuk melakukannya.
Secara singkat, cara membantu yang lain dapat diringkaskan menjadi 10 kategori, yaitu :
1. Mendukung kebaikan.
Bila kita melihat ada orang mencoba berbuat kebaikan, kita membantunya agar keinginannya tersebut berkembang. Bila kita melihat orang lain ingin berbuat sesuatu yang baik tetapi tidak dapat membuatnya, kita membantunya agar dapat berhasil. Dengan cara ini kita melatih “Mendukung Kebaikan”. Sebagai contoh, sewaktu Raja Shwun masih muda, di daerah Santung, beliau sangat sedih melihat orang menangkap ikan, tempat yang dalam dan banyak ikan serta airnya tenang semua direbut oleh pemuda-pemuda yang kuat, sehingga orang yang tua dan lemah tersingkir di tempat dangkal dan airnya mengalir deras. Beliau juga sengaja turun ke air menangkap ikan, ketika ada orang yang hendak merebut tempatnya, Beliau sengaja mengalah dan tidak mengeluh. Bila ada orang yang memberikannya tempat untuk menangkap ikan, Beliau langsung mengucapkan terima kasih dan memuji sikap baik orang tersebut. Setelah Beliau melakukan hal demikian selama beberapa periode, akhirnya telah menimbulkan suatu suasana keharmonisan, orang-orang semua bersikap hormat dan mau mengalah.
Tindakan Raja Shwun tersebut sesuai dengan apa yang disebut Tuan John Ruskin. Pendidikan bukan berarti mengajarkan orang apa yang mereka tidak tahu, tetapi mengajarkan orang bersikap, bagaimana/sepantasnya mereka bersikap . . .
Ini adalah suatu tugas yang berat, harus terus menerus dan sangat sulit dilaksanakan. Dengan kasih sayang, meneliti, menasehati, membimbing, memuji, tetapi yang terpenting adalah memberi CONTOH. Cerita Raja Shwun adalah hanya sebuah contoh untuk menunjukkan bagaimana orang mempengaruhi orang lain melalui tingkah laku, bukan melalui pembicaraan/nasehat. Bukannya bermaksud untuk mendukung orang untuk memancing/menangkap ikan, karena memancing adalah suatu perbuatan membunuh. Mohon menghentikan olah raga yang bersifat mengambil jiwa makhluk hidup lain. Seorang yang bijak dan pintar seperti Shwun akan sangat mudah mempengaruhi orang lain dengan beberapa kata nasehat. Mengapa dia tidak hanya menasehati saja daripada menggabungkan diri pada aktivitas tersebut? Shwun tidak menggunakan kata, tetapi lebih memilih memberi contoh kepada orang lain melalui tindakannya. Shwun menginginkan nelayan tersebut sadar dan merasa malu atas sikap keegoan mereka serta merubah dengan sendirinya. Ini menunjukkan betapa tulusnya keinginan Shwun untuk mempengaruhi orang agar berbuat baik.
Pada zaman sekarang yang moralitasnya rendah, perasaan sosial hancur dan kekurangan rasa kepedulian terhadap orang lain dan lingkungan, sangat sulit menemukan suatu standar sikap yang baik. Karena itu, bila kita menemukan disekeliling kita mempunyai kekurangan . . . . kita tidak menggunakan kelebihan kita untuk menonjolkan kekurangan orang lain. Bila orang lain tidak berbuat baik, jangan menggunakan kebaikan kita untuk membandingkan atau mengukur dengannya. Bila orang lain tidak semampu kita, jangan sengaja mempermainkannya dengan kemampuan kita. Bahkan bila kita pintar dan tangkas, keunggulan ini haruslah disembunyikan dan tidak perlu dibanggakan. Sebaliknya, kita malah harus lebih merendah dari sebelumnya. Kita menganggap kepintaran dan ketangkasan kita adalah hal yang tidak penting, yang tidak nyata. Bila seseorang berbuat salah, kita sabar dan menyembunyikannya, memberi kesempatan kepadanya untuk merubah, mengoreksi diri tanpa melukai harga dirinya.
Bila kita tetap menjaga harga diri orang, orang ini bahkan akan lebih hati-hati atas perbuatannya di masa depan. Bila kita melihat kekuatan dan kebaikan orang lain, kita belajar darinya, memujinya dan menyampaikan kebaikannya kepada orang lain. Pada kehidupan sehari-hari, kita selalu menahan diri agar tidak berbicara atau berbuat hal-hal yang hanya mementingkan diri, tetapi selalu berbuat hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat dan publik, mendukung prinsip, peraturan dan ketentuan yang bermanfaat agar selalu ditaati oleh orang.
Ini adalah kualitas dari seorang manusia sejati, selalu memikirkan kesejahteraan, manfaat publik daripada keuntungan diri sendiri.
2. Kasih sayang dan sopan santun.
Mengasihi dan menghormati sesama makhluk hidup lain dan benda. Seperti kata pepatah : Sejenis beras memelihara ratusan jenis manusia”, walaupun antara manusia ada yang kaya dan miskin, keluarga dekat dan jauh, kenal dan asing, bodoh dan pintar, bingung dan bijak, tetapi mereka semua adalah sama harus saling hormat menghormati. Sebagai manusia yang berakal budi sepantasnyalah harus menghormati orang lain dan diri sendiri.
Menghormati pekerjaan masing-masing, menyenangi kebersamaan, taat hukum disiplin diri. Kasih sayang dan menghormati makhluk lain seperti hewan, mereka juga mempunyai hak untuk hidup, jangan membunuh atau menyiksanya. Demikian juga terhadap benda, bukannya kita harus bersujud kepada benda, tetapi dengan memelihara jangan sampai rusak, merapikan jangan sampai berserakan, menempatkan di tempat yang sesuai. Dengan demikian kita telah melakukan kehendak Yang Kuasa.
Kadang kala sangat sulit menilai dari penampilan seseorang, apakah dia adalah seorang manusia sejati atau hanya seorang gadungan/brengsek, karena orang gadungan bisa berpura-pura berlagak sebagai seorang manusia sejati. Perbedaannya adalah terletak pada niatnya. Niat seorang manusia sejati selalu baik sedangkan orang gadungan adalah tidak baik. Ada perbedaan yang sangat besar diantara mereka seperti hitam dan putih.
Mencius berkata . . .”Perbedaan seorang manusia sejati dan manusia gadungan adalah terletak pada niat mereka.”
Hati seorang manusia sejati selalu dipenuhi oleh cinta kasih dan hormat kepada yang lain. Manusia di dunia ini bermacam-macam, ada yang dekat dengan kita, ada yang asing, ada yang berjabatan tinggi, ada yang tidak, ada yang pintar ada yang tidak, ada yang bermoral, ada yang bejat, mereka adalah manusia.
Mereka seperti kita, hidup dan mempunyai daging, darah dan perasaan. Tidak ada seorangpun yang harus kita benci atau tidak dihormati. Bila hati kita penuh dengan kasih sayang dan hormat kepada yang lain, maka adalah sama seperti kasih sayang dan hormat kita kepada para orang suci dan bijak. Bilamana kita memahami yang lain, adalah sama seperti kita memahami para orang suci dan bijak. Mengapa? Karena para orang suci dan bijak ingin manusia di dunia ini mendapat kebahagiaan dan kehidupan yang produktif.
Karena itu, bila kita mengasihi dan menghormati orang lain dan membantu mereka mendapatkan kedamaian serta kebahagiaan, kita telah melakukan tugas dari para orang suci dan bijak.
3. Membantu orang mencapai kesuksesan.
Bila kita melihat orang berbuat baik atau tidak, kita membujuknya agar mau berbuat baik. Bila melihat orang mengalami kesulitan untuk berbuat baik, kita membantunya mengatasi masalahnya dan menuntunnya agar berhasil. Kita jangan cemburu atas keberhasilan mereka atau mencoba menyabotasenya.
Seumpama batu giok, bilamana dibuang begitu saja, maka tidak bernilai seperti batu yang tidak berharga. Tetapi bila kita mengasah dan membentuknya, akan berubah menjadi perhiasan yang berharga. Adalah sama juga seperti manusia, seorang manusia perlu dididik dan dibimbing, persis seperti batu giok yang diasah dan dibentuk. Bila kita melihat orang yang berpotensial untuk berbuat baik dan bercita-cita luhur, kita dapat mendukung, memuji, membimbing dan memberi semangat agar sukses untuk mencapai cita-cita luhurnya.
Bila orang lain salah menilai mereka, kita berusaha menjernihkan namanya dan membagi bebannya. Ketika kita membantu mereka agar dapat berdiri di atas kaki sendiri dan menjadi bagian dari masyarakat yang baik, kita telah memenuhi tanggung jawab kita dalam membantu orang lain mencapai kesuksesan.
Secara umum, di dalam masyarakat, orang yang berbuat baik lebih sedikit, lebih banyak yang jahat. Manusia biasa lebih banyak yang bersifat buruk seperti membela diri walaupun salah serta menyingkirkan orang yang berlainan pendapat dengannya, sehingga orang baik dalam masyarakat, kecuali dia mempunyai iman dan pendirian yang sangat kuat, dapat dengan gigih melawan segala rintangan dan godaan. Bilamana tidak, maka akan sangat sulit baginya untuk bertahan.
Lebih-lebih orang yang bercita luhur ingin berbuat kebajikan, mempunyai karakter keterbukaan dan rendah diri, berterus terang, tidak licik. Mereka kurang memperhatikan penampilan dan tidak bisa menyanjung-nyanjung orang lain. Sebaliknya orang yang kurang berpendidikan dan tidak berwawasan luas sering menggosip dan menyalahkan mereka, sehingga merupakan sebuah tantangan berat bagi mereka. Seorang yang baik mudah sekali disalahkan secara tidak adil.
Bila ini terjadi, maka para tetua, orang bijak harus selalu berusaha membimbing orang yang salah tersebut ke jalan yang benar, serta melindungi dan mendukung mereka, yang baik supaya tetap berbuat baik. Mereka yang dapat tetap bertahan selalu berbuat kebajikan dan tidak berbuat kejahatan pasti mendapat pahala yang besar sekali.
4. Menasehati orang agar berbuat baik
Bila kita melihat orang berbuat salah, kita harus dan jangan segan menasehati dan menunjukkan bahwa kesalahannya tersebut akan mengundang bencana besar atau menyakiti dirinya sendiri dan harus berupaya untuk tidak berbuat kesalahan tersebut. Mintakan kepada orang yang tidak mau berbuat baik atau mau berbuat sedikit kebaikan saja, bahwa dengan berbuat baik pasti mengundang keberuntungan bagi dirinya. Kebaikan bukan saja hanya harus dilaksanakan, tetapi juga harus dilaksanakan secara spontan dalam skala yang besar. Kita semua mempunyai hati nurani, jati diri yang luhur, tetapi karena terlalu sibuk mengejar kekayaan, reputasi telah membuat kita lupa akan jati diri sendiri. Kita bersedia membungkuk serendah mungkin untuk memperoleh apa yang diinginkan. Ketika seorang teman telah lupa akan jati dirinya sehingga berbuat sesuatu yang tidak baik, kita dapat menasehati dan memperingatinya, agar dia sadar akan tindakannya yang menyimpang. Ibarat kita membangunkan orang yang sedang mengalami mimpi buruk, membantunya menghadapi kenyataan. Bila seseorang mengalami depresi, kita membantu melepasnya dan membuka pikirannya. Kita adalah orang yang berbudi bila dapat memperlakukan teman kita dengan kebaikan tersebut. Seorang bijak yang bernama Han berkata: “Melalui mulut, kita hanya dapat menasehati orang sementara saja, karena mudah dilupakan sejalan dengan berlalunya waktu. Tidak ada orang lagi yang mendengar apa yang telah kita sebutkan. Bila nasehat kita tertulis dalam buku, maka akan menasehati dan mempengaruhi orang untuk ratusan generasi di seluruh dunia”. Karena itu, menulis untuk menasehati orang adalah kebajikan yang baik sekali.
Kita dapat menasehati orang dengan kata-kata atau tulisan untuk menyebarkan kebajikan. Bila dibandingkan dengan kategori sebelumnya “membantu orang untuk mencapai kesuksesan”, kategori ini lebih tepat dan jelas. Akan tetapi sejenis penyakit bila diobati dengan obat yang tepat, terbukti mempunyai khasiat, karena itu, tidak boleh menyerah. Sering pula terjadi nasehat baik kita disalahpahami, malah menuduh kita telah menghinanya, kita jangan malah terjebak dalam kemarahan, karena adalah suatu sifat kelemahan manusia juga selalu mau membela diri walaupun tahu dirinya salah, yang penting kita beritikad baik dan berbuat sesuai suara hati. Kita malah berdosa bila berdiam diri melihat kesalahan orang lain, kita telah membantu menenggelamkan orang.
Penting juga diperhatikan bagaimana kita melakukannya. Misalnya, bila seseorang yang terlalu keras kepala, kita tidak perlu membujuknya dengan kata-kata, karena kata-kata dan energi kita akan sia-sia saja. Bila seseorang tersebut lembut dan mau mendengar, tetapi kita gagal menasehatinya, kita telah kehilangan kesempatan yang baik untuk berbuat baik. Kedua cara tersebut di atas terjadi karena kita kurang arif untuk mengatakan perbedaannya. Kita harus melihat apa yang salah sehingga kelak kita dapat berbuat dengan tepat dan tidak lagi menyia-nyiakan kata-kata atau kesempatan.
5. Membantu orang yang mengalami musibah/sangat memerlukan.
Kebanyakan orang cenderung memberi kepada orang yang tidak memerlukan dan tidak memberi kepada orang yang sangat memerlukan. Seperti pepatah Tiongkok: “Lebih banyak orang menambah bunga di pot yang sudah penuh kembang, tetapi jarang orang yang memberi arang pemanas untuk orang yang terbelenggu di salju”.
Ketika kita menemui orang yang dalam kesulitan besar, darurat atau bahaya, kita berusaha dengan cara apapun untuk membantu mereka terlepas dari ancaman tersebut. Kebajikan atas perbuatan ini adalah tidak terhingga. Tetapi, seseorang tidak boleh menjadi sombong dan bangga karenanya. Manusia hidup di dunia, selalu mempunyai banyak masalah, bila kita menemui orang yang mengalami penderitaan/bencana, kita berusaha membantu mereka seumpama kita sendiri yang mengalami penderitaan tersebut. Bila seseorang difitnah, kita membantu menjernihkan masalahnya, memberikan kata-kata yang menyejukkan atau bantuan dengan cara lain.
Seperti kata orang kuno:
“Tidak masalah suatu bantuan itu kecil atau besar, yang penting dapat membantu seseorang pada saat dia sangat memerlukan”.
6. Membangun struktur yang bermanfaat besar untuk publik.
Kategori ini biasanya dilakukan oleh orang yang berpengaruh dan berkuasa besar. Bila seseorang mempunyai kemampuan ini, maka boleh membangun irigasi, mengunjungi dan membantu orang yang mengalami bencana alam, membuat jalan, jembatan. Misalnya seseorang melihat ada retak kecil di tanggul, berusaha menutupi retakan tersebut dengan batu/lumpur untuk mencegah air sehingga tidak terjadi retakan yang lebih besar yang dapat mengakibatkan banjir, kelihatannya ini adalah perbuatan kecil, tetapi akibatnya adalah luar biasa.
Bila kita mempunyai kesempatan, kita membujuk orang lain turut mengambil bagian. Bahkan bila orang lain mengoceh di belakang kita, kita jangan putus asa, jangan takut akan omongan orang dan tugas tersebut sulit. Jangan biarkan kecemburuan dan kemarahan orang lain menggoyahkan semangat kita untuk berbuat baik.
7. Berdana/memberi.
Manusia yang berada di dunia selalu berusaha mengejar uang bahkan mati karena uang. Siapa yang benar-benar ingin membantu orang dengan memberikan uangnya? Ketika kita menyadari kesulitan berdana ini, kita akan sangat menghargai orang yang suka berdana untuk membantu orang yang memerlukan, orang ini adalah orang besar di mata para fakir miskin.
Menurut hukum sebab akibat: “Siapa yang memberi akan mendapat, yang tidak memberi, tidak akan menerima”. Bila kita melatih diri dengan berdana, kita akan menerima keberuntungan, jangan takut bahwa bila saya telah memberi, tidak ada sisa lagi untuk diri, karena semakin banyak yang diberikan, semakin banyak yang akan kita dapat.
Dengan berdana, dapat mengumpulkan pahala, dan menghapuskan sifat jelek seperti ego, rasa mementingkan diri sendiri, kekikiran. Hal ini akan membantu pelatihan diri untuk membuat kebajikan. Pada permulaan mungkin akan merasa terpaksa, akan tetapi lama-kelamaan akan merasa senang, tenang dan bahagia, hal ini akan membersihkan kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan.
Dalam ajaran Buddha, memberi adalah praktek kebajikan utama yang harus dilakukan oleh semua murid Buddha. Bila kita benar-benar mengerti arti dari memberi dan ingin memberi semua milik duniawinya, bahkan organ tubuhnya, maka orang ini menjalani jalan Buddha. Orang yang paham prinsip ini akan memberikan segala sesuatu, termasuk mata, telinga, hidung, lidah, badan dan pikiran.
Bila kita belum sanggup memberikan segalanya, kita bisa mulai dengan memberikan uang. Umumnya orang menganggap pakaian dan makanan adalah hidupnya.
Bila kita dapat memberi dengan tanpa sedikit juga keraguan, kita akan menghilangkan sifat pelit/kikir disamping itu juga membantu orang yang memerlukannya.
Bagaimanapun juga, banyak orang yang sulit melakukannya. Memang pada mulanya sulit dilaksanakan, tetapi akan semakin biasa bila telah sering melakukannya. Dengan mempraktekkan kebajikan “berdana” ini, ketenangan pikiran akan diperoleh dan tidak ada yang tidak dapat kita berikan. Ini adalah cara yang paling baik untuk menghilangkan sifat mementingkan diri dan sebagai suatu kesempatan untuk merubah sikap kita terhadap uang dan material duniawi.
8. Membedakan antara ajaran yang benar dan ajaran sesat.
Kita harus dapat membedakan antara ajaran yang benar dan ajaran sesat.
Ajaran sesat sangat membahayakan pikiran dan hati orang, dan seharusnya berupaya untuk menghindarinya. Sedangkan ajaran yang benar, kebijaksanaan, pandangan yang baik seperti ajaran Buddha, Konghucu, sepuluh perintah Allah dan sebagainya, yang mendidik kebaikan, menuntun masyarakat ke jalan yang tepat dan benar, sehingga mendapat kehidupan yang baik di dunia maupun akhirat haruslah berupaya dipelihara, dikembangkan dan dipertahankan jangan sampai lenyap di dunia, jangan biarkan orang sesat menghancurkannya.
Sejak dahulu kala, ajaran yang benar telah menjadi suatu standar dari kebenaran dan sebagai pedoman spiritual untuk manusia.
Bila kita tidak mempunyai keyakinan yang kuat, bagaimana kita dapat berinteraksi dengan Langit dan Bumi? Bagaimana manusia dapat berhasil mencapai cita-cita luhurnya tanpa suatu standar hidup? Bagaimana kita dapat terlepas dari kesengsaraan dan cengkraman hidup? Bagaimana kita membangun dan membentuk nasib dan melampaui siklus hidup dan mati?
Ini semua tergantung pada ajaran baik dan benar sebagai jalan penerangan.
Karena itu, bilamana kita melihat Vihara, tempat-tempat peringatan orang suci dan bijak atau foto mereka, kitab suci, Sutra Buddha, kita harus menghormati. Bila perlu diperbaiki, kita harus memperbaiki ke bentuk semula. Kita membantu menyebarkan ajaran Buddha, ajaran tentang keadaan sebenarnya dari alam semesta dan lingkungan hidup kita, dengan demikian kita juga telah menunjukkan hormat dan rasa terima kasih kepada orang suci dan Buddha. Kita berupaya untuk mencapai tujuan ini.
9. Menghormati tetua.
Yang dimaksud tetua adalah orang tua, kakak, atasan, orang yang derajatnya lebih tinggi dari kita, yang lebih tua dari kita, yang bereputasi, yang berkebajikan tinggi, yang terpelajar dan bermoral, yang berjati diri, pejabat harus dihormati.
Bersikap hormat, sopan, lemah lembut terhadap orang tua, jangan meninggikan suara kita saat berbicara dengan orang tua atau bila pembicaraan orang tua tidak dapat kita terima. Bila selalu mempraktekkan kebajikan ini, kita akan terbiasa dan menjadi bagian yang melekat, akan mengubah kita menjadi orang yang tenang dan lembut, cara ini akan menyentuh Langit dan Bumi serta akan mendapat balasan dari mereka. Bila berhubungan dengan atasan kita dan pejabat pemerintah, kita harus taat peraturan jangan melanggar. Kita jangan lengah sehingga perbuatan kita menyimpang, karena menganggap atasan kita tidak mengetahuinya.
Bila kita menemukan seseorang berbuat kejahatan, walaupun kejahatan yang dibuat tersebut serius atau tidak, kita harus menyelidiki dengan seksama dan adil. Jangan menyalahgunakan kekuasaan yang telah diberikan atasan kepada kita.
Bila menghadap raja, seseorang harus bersikap sangat hormat seperti menghadap Yang Kuasa. Ini adalah sikap yang benar yang harus diturunkan kepada generasi yang akan datang. Ini mempunyai hubungan yang langsung dan penting terhadap kebajikan yang tersembunyi dalam diri kita.
Lihatlah keluarga yang mempraktekkan kesetiaan dan kebhaktian, keturunan mereka hidup makmur sejahtera dari generasi ke generasi.
Karena itu, kita harus mengikuti jejak mereka menghormati tetua.
Banyak orang pada saat berbicara dengan orang tuanya, berbahasa kasar dan nada yang tinggi, sadarkah Anda bahwa setiap kata yang Anda ucapkan telah diwariskan kepada anak Anda, anak Anda juga telah belajar setiap kata ucapan Anda tersebut tanpa ada yang ketinggalan yang akan ditujukan kepada Anda kelak. Tidak berbakti kepada orang tua adalah juga telah mendidik anak kita tidak berbakti kepada kita.
10. Hargailah dan sayangilah makhluk hidup.
Kita harus menghargai jiwa semua makhluk hidup bahkan sekecil seekor semut, yang juga mengetahui penderitaan dan takut akan kematian. Bagaimana kita dapat membunuh makhluk lain dan makan dagingnya tanpa merasa sedikit juga bersalah dan menyesal? Ada orang mengatakan, makhluk ini memang adalah makanan untuk manusia . . . . tetapi argumentasi ini tidak logis dan hanya sebuah alasan bagi orang yang makan daging.
Selain daging, banyak makanan yang boleh dikonsumsi manusia, seperti buah, sayuran, sehingga tidak perlu membunuh hanya untuk selera mulut. Kita boleh tidak memakai pakaian yang terbuat dari sutra, kepompong harus direbus dahulu dan ulat sutra tersebut masih berada di dalamnya, sehingga berjuta-juta ekor ulat sutra akan terbunuh hanya karena kesombongan dan kebanggaan manusia.
Bila kita belum dapat putus makan daging, kita berusaha untuk tidak memakan daging dari binatang “yang dipelihara sendiri, kita menyaksikan sendiri hewan tersebut dibunuh, kita mendengar langsung suara derita hewan tersebut saat dibunuh, dibunuh untuk diri kita”. Dengan tidak memakan 4 jenis daging hewan tersebut di atas, akan menumbuhkan welas asih, menambah keberuntungan dan kebijaksanaan.
Hati yang welas asih membentuk seorang yang baik. Mencius berkata:
“Seseorang yang tidak welas asih bukanlah seorang manusia”. Seorang yang berkebajikan mau mengampuni dan berhati baik adalah dilihat dari hatinya yang welas asih. Seorang yang mau mengumpulkan kebajikan juga harus mempraktekkan welas asih. Seorang yang welas asih adalah orang yang baik, bermoral, mau mengampuni, sedangkan orang yang tidak welas asih adalah tidak baik dan tidak bermoral. Ini tertulis dalam buku “Kode Etik dari Dinasty Chu”.
Bulan Januari, induk-induk hewan sedang mengandung dan melahirkan, maka spesies betina jangan dibunuh. Mencius berkata: “Seorang manusia yang terpuji, menjauhi dapur”. Ini adalah untuk memelihara hati yang welas asih, karena di dapur dilakukan pembunuhan hewan untuk santapan manusia.
Menurut Ajaran Buddha, makhluk hidup terlahir sebagai hewan karena telah membuat karma buruk dan akumulasi banyak karma buruk pada kehidupan sebelumnya, setelah mereka menerima balasannya / hukumannya, mereka dapat terlahir sebagai manusia lagi. Bila mereka mau melatih diri bahkan dapat menjadi Buddha. Daging yang kita makan hari ini mungkin adalah daging dari Buddha masa depan. Hewan yang kita lihat hari ini adalah seorang manusia pada kehidupan sebelumnya. Mungkin hewan ini dahulu adalah orang tua kita, istri, suami, anak, sanak saudara atau teman kita. Sekarang kita seorang manusia dan mereka adalah hewan. Membunuh dan memakan mereka akan bermusuhan dengan mereka yang dulu pernah kita kasihi. Bila kita makan mereka, kelak mereka menjadi manusia dan kita menjadi hewan karena kesadisan kita telah membunuh mereka sekarang, sebagai balasannya, kita juga akan mengalami penderitaan yang sama yaitu dibunuh dan dimakan.
Ketika kita berpikir demikian, bagaimana kita berani membunuh? Bagaimana kita dapat memakan sepotong juga daging mereka? Di samping itu, bahkan daging itu rasanya enak, hanya terasa diantara mulut sampai kerongkongan.
Setelah ditelan, tidak ada terasa enaknya lagi. Tidak ada bedanya antara memakan daging dan sayuran. Mengapa kita harus membunuh bila tidak ada kebaikannya? Bila kita tidak dapat segera berhenti memakan daging, kita dapat perlahan-lahan mengurangi daging sampai benar-benar melepaskan daging dan hanya makan sayuran. Dengan cara ini, kita dapat mencapai tingkat lebih tinggi dari kewelas asihan dalam hati kita. Juga kita perlu berhenti membunuh makhluk berjiwa, bahkan serangga.
Ketika sedang mencangkul tanah di sawah, ladang, berapa banyak serangga yang terbunuh? Kita harus sadar akan biaya yang harus ditanggung untuk makanan dan pakaian diri sendiri, kita membunuh untuk keperluan sendiri.
Karena itu, kita harus hidup sederhana, menghemat, hati-hati dan menilai makanan dan pakaian yang kita konsumsi sehari-hari. Hidup memboros adalah sama dengan melakukan kekerasan pembunuhan.
Berapa seringkah kita secara tidak sadar telah mencelakai dan menginjak makhluk hidup? Dengan sedikit kesadaran, kita dapat menghindarkan kejadian ini. Seorang penyair bernama Tung Pwo Su dari Dinasti Sung menulis . . . . . Menyayangi Tikus, kita tinggalkan sedikit beras untuknya, mengasihi serangga, kita tidak memasang pelita.
Sebuah kalimat yang sangat baik dan penuh welas asih! Masih banyak jenis kebajikan yang saya tidak dapat sebutkan semuanya. Sejauh kita dapat mengembangkan sepuluh kategori yang sangat berharga tersebut di atas, kita dapat melipatgandakan perbuatan-perbuatan baik dan kebajikan. [Leoni Koh / Jakarta / Tionghoanews]
Bersambung ...