Yelu Chucai lahir di Yanjing (sekarang Beijing) dan berdarah Qidan (suku minoritas di wilayah utara Tiongkok), keluarganya memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga kerajaan Dinasti Liao. Ayahnya, Yelu Lu, adalah pejabat yang melayani Dinasti Jin (suku Jurchen), yang pada tahun 1125 meruntuhkan Dinasti Liao, dan ibunya adalah seorang wanita Han bermarga Yang. Pada usia dua tahun Yelu ditinggal mati ayahnya, ia hidup di bawah asuhan ibunya yang mendidiknya dengan keras dan berpengaruh besar terhadap pembentukan karakternya. Pemahamannya terhadap budaya Tionghoa memungkinkannya untuk mendalami kesusastraan dan filsafat mereka, selain itu ia pun mempelajari astronomi, sejarah, geografi, hukum, matematika dan juga ilmu kedokteran. Yelu adalah seorang penganut Budha, namun ia juga banyak mengerti tentang Konfusianisme dan Taoisme. Pada umur 20-an ia sudah memegang jabatan pemerintahan di daerahnya.
Tahun 1211, Genghis Khan memulai perang melawan Dinasti Jin. Kaum pemberontak baik dari etnis Qi dan, Han, bahkan dari suku Jurchen sendiri banyak yang bergabung dengan Mongol untuk melawan Dinasti Jin yang saat itu sudah korup. Pada akhir Juli 1218, Yelu untuk pertama kalinya bertemu dengan sang penakluk besar itu di padang rumput Sari (sebelah barat Sungai Kerulen). Padanya Genghis Khan berkata, "Liao dan Jin adalah musuh bebuyutan, kini aku telah membalaskan dendam untukmu" Namun Yelu menjawab, "Kakek dan ayah hamba berturut-turut melayani Dinasti Jin, bagaimana bisa saya sebagai seorang hamba dan seorang anak bermuka dua dengan menganggap atasan dan ayahku sebagai musuh?" Jawabannya membuat semua yang hadir termasuk Genghis Khan terkesan akan kesetiaan dan keberaniannya.
Melihat bakatnya yang luar biasa, Genghis Khan mengajaknya bergabung dan memberinya jabatan penting dalam pemerintahannya, saat itu usianya baru 28 tahun. Ia juga dikenal dengan julukan yang diberikan Genghis padanya, 'Urtu Saqal' (yang artinya 'si jenggot panjang') karena tubuhnya yang tinggi besar dengan jenggot hingga mencapai pinggang,
Setelah menjadi penasehat, ia menyarankan pada Genghis Khan agar lebih baik menarik pajak dan memberi kesempatan pada rakyat yang ditaklukkan untuk melayani Mongol daripada membantai mereka. Kebijakannya antara lain adalah melakukan reformasi dalam administrasi pemerintahan misalnya pembagian kekuasaan antara sipil dan militer serta menerapkan sejumlah pajak dan retribusi. Pendapat Yelu banyak yang didengar oleh Genghis Khan sehingga kariernya menanjak dengan cepat dan menjadi salah satu pejabat kepercayaannya.
Hal ini menimbulkan rasa iri pada lawan-lawan politiknya. Pernah suatu ketika, seorang pembuat panah dari Xia Barat (kerajaan taklukan Mongol) berkata pada Genghis Khan di depan para pejabat lainnya, "Sekarang ini adalah jaman yang kacau dan yang diperlukan adalah berperang, kutu buku seperti Yelu Chucai apa gunanya bagi kita?" Bukannya marah, Yelu malah dengan tenang balik bertanya, "Sebagaimana membuat busur yang bagus diperlukan seorang ahli senjata, apakah mengatur negara tidak butuh ahlinya?" Pertanyaan balasan ini membuat si pembuat panah terdiam malu sementara Genghis Khan makin yakin pada kecerdasan Yelu dan makin menaruh kepercayaan padanya.
Genghis Khan wafat pada 1227 dan digantikan oleh putranya Ogedei Khan. Di bawah pemerintahan khan baru ini Yelu tetap dipercaya menjadi penasehat. Ia berjasa mengkonsolidasi putra-putra Genghis dan para pejabat untuk tetap kompak dan setia pada Ogedei. Sebagai seorang yang terpelajar, ia senantiasa mengedepankan kebijakan daripada kekerasan dan otak daripada otot. Pernah suatu ketika akan memulai pertempuran, Ogedei bertanya sinis padanya, "Apakah anda akan meratapi orang-orang itu lagi?". Namun dengan tenang Yelu menjawab, "Anda bisa menaklukan sebuah kekaisaran dari atas punggung kuda, namun tidak akan bisa memerintahnya dari tempat yang sama". Tahun 1232, ketika ibukota Jin, Kaifeng, jatuh, para jenderal Mongol termasuk Subutai, sudah berencana membumihanguskan kota itu dan membantai populasi di sana. Yelu segera membujuk Ogedei untuk mencegah tragedi lebih lanjut. Ia menekankan bahwa tujuan perang adalah mendapatkan tanah dan rakyat, adalah kesia-siaan belaka mendapatkan tanah tapi tanpa sumber daya manusianya. Maka Ogedei pun menurunkan perintah yang melarang pembantaian penduduk dan tawanan perang selain dari klan Wanyan (keluarga kerajaan Dinasti Jin). Dengan demikian 1.470.000 jiwa penduduk Kaifeng saat itu selamat dari pembantaian. Setelah Dinasti Jin runtuh, beberapa kota di Gansu yang masih setia pada Dinasti Jin meneruskan perlawanan. Sekali lagi berkat bujukan Yelu, Ogedei mengeluarkan pernyataan yang menjamin keselamatan mereka yang menyerah. Hasilnya kota-kota itu satu-persatu menyerah pada Mongol tanpa harus melalui pertempuran yang berdarah-darah.
Tahun 1229, Yelu merampungkan karya tulisnya yang berjudul Catatan Perjalanan ke Barat (西游录). Tulisan ini dibuat berdasarkan laporan-laporan militer yang masuk ketika Genghis Khan mengadakan ekspedisi penaklukkan ke Persia. Isinya berupa penjelasan mengenai segala sesuatu tentang wilayah-wilayah yang di lalui seperti misalnya kondisi geografis dan budaya setempat. Karya ini menjadi referensi yang tak ternilai harganya dan banyak digunakan oleh generasi mendatang. Selain Catatan Perjalanan ke Barat, Yelu juga menyunting beberapa karya tulis lain juga seperangkat undang-undang yang kelak menjadi landasan bagi berdirinya Dinasti Yuan di Tiongkok.
Ketika Ogedei wafat pada tahun 1241 dan kekuasaan jatuh ke tangan jandanya, Toregene Khatun, yang bertindak sebagai wali atas putranya, Guyuk Khan. Politik dilanda kekisruhan karena Toregene tidak cocok dengan para pejabat lama termasuk Yelu. Pendapat Yelu banyak yang tidak didengar lagi oleh rezim baru ini sehingga ia secara bertahap menarik diri dari panggung politik hingga meninggal tahun 1243. Tahun 1261, Kubilai Khan, cucu Genghis yang mendirikan Dinasti Yuan, memindahkan jasad Yelu dan istrinya ke kampung halamannya serta secara anumerta menganugerahinya gelar kebangsawanan Pangeran Guangning (广宁王) dan nama kehormatan Wenzheng (文正). Makam Yelu sempat dirusak semasa pemerintahan Dinasti Ming ketika sentimen anti-Mongol sedang marak-maraknya dan baru di renovasi pada masa pemerintahan Kaisar Qianlong dari Dinasti Qing. Di dekat makam, Kaisar Qianlong juga membangun sebuah kuil untuk menghormatinya. Makam itu kini terletak di Bukit Wanshou, kompleks Istana Musim Panas, Beijing. Seorang putranya bernama Yelu Tao, kelak menjadi perdana menteri Dinasti Yuan.
Yelu Chucai muncul dalam novel silat karya Jin Yong (Chin Yung), The Return of the Condor Heroes (di Indonesia dikenal dengan judul Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali). Ia diceritakan mempunyai seorang putra, Yelu Qi dan seorang putri, Yelu Yan, yang menjadi sekutu tokoh protagonis Guo Jing. Keduanya adalah tokoh fiktif yang tidak pernah ada dalam sejarah. (*)
http://yinnihuaren.blogspot.com
Email dari: Taniadi Ong, Semarang