Ada delapan dewa yang cukup dikenal oleh masyarakat China, dan menjadi legenda dari masa ke masa. Salah satu diantaranya adalah Li Tieh Kuai (si Tongkat Besi).
Dongeng mengenai si Tongkat Besi ini banyak sekali. Ada yang mengatakan bahwa dewi Xiwangmu-lah yang menjelmakannya menjadi dewa tersebut dan dikukuhkannya sebagai pendiri agama di Donghua, lalu menghadiahi sebuah tongkat besi padanya.
Versi lain mengatakan bahwa dia bernama asli Hungshui yang sering mengemis di kota, dan dihina orang, kemudian dia melempar ke udara tongkat besinya yang kemudian menjadi seekor naga terbang, dia menunggangi naganya pergi ke langit kemudian berubah menjadi dewa.
Sedangkan satu versi lain mengatakan bahwa Lixuan bertemu dengan Taisang Laojun dan mendapat ajaran Dao (Tao). Cerita berikut ini adalah mengenai kisah si Tongkat Besi bertemu dengan Taisang Laojun.
Si Tongkat Besi bukanlah manusia biasa, dia berbakat dan terpelajar, berperawakan kekar, memiliki wajah tampan dan rupawan serta sopan; berperangai riang, serta menguasai ilmu tentang misteri alam semesta. Sejak muda tidak suka akan hal dan urusan duniawi, tapi mengagumi prinsip ilmu gaib dan ajaran Tao. Dia berpendapat bahwa langit dan bumi tidak nyata, hidup manusia adalah ilusi belaka.
Hasrat dan keinginan serta nafsu duniawi, semuanya bagai kapak yang tajam. Baik prestasi, kekayaan, pangkat serta kedudukan tinggi itu semua adalah racun anggur yang memikat hati manusia. Walaupun agung bagaikan putra kayangan sekalipun serta kekayaannya terdapat di mana-mana, namun semua itu hanyalah awan yang melayang. Lagi pula semua itu berasal dari tiada, sehingga yang datang pun pasti akan kembali ke asalnya yang tiada, ini adalah hukum alam yang tidak berubah.
Sesungguhnya kehidupan manusia itu mempunyai lingkungan kesenangan tersendiri, buat apa harus tenggelam dalam hubungan perasaan dan menyia-nyiakan waktu. Oleh karena itu dia bertekad berkultivasi sejati. Maka berpamitlah ia kepada teman dan sanak keluarganya, pergi mencari sebuah lembah indah yang sunyi dan sepi. Disusunnya bebatuan menjadi sebuah pintu, menganyam alang-alang menjadi tikar. Menjernihkan jiwa dan membersihkan hati, bertaubat dan berlatih raga berkultivasi jiwa, lupa akan makan dan tidur, beberapa tahun pun berlalu.
Pada suatu hari, teringat olehnya bahwa nama Taisang Laojun dan ajaran Tao-nya yang tersohor dan dikenal di mana-mana itu tinggal di gunung Huasan, kenapa tidak berguru padanya? Oleh karena itu berangkatlah ia siang dan malam, menahan lapar dan haus menempuh perjalanan yang sulit, akhirnya tibalah ia digunung Huasan, dan berguru pada Taisang Laojun. Dengan ajaran intisari dan filosofi Tao yang diberikan oleh Laojun, terbukalah batin si Tongkat Besi dan sirnalah segala hal kerikatan duniawi di benaknya. Setelah meninggalkan gunung Huasan, maka si Tongkat Besi pun semakin tebal ajaran filsafat serta kokoh ilmunya.
Suatu hari, datanglah Taisang Laojun menunggang seekor bangau, mengajaknya pergi berjalan-jalan ke daerah kayangan barat selama sepuluh hari. Sepuluh hari kemudian, si Tongkat Besi berpesan kepada muridnya yang bernama Yangzi: "Roh saya akan meninggalkan tubuhku untuk pergi ke gunung Huasan sesuai dengan janji pada Taisang Laojun dan jasadku akan tinggal di sini, jika dalam waktu tujuh hari, roh saya tidak kembali ke tubuhku maka kamu boleh mengremasi tubuhku. Namun dalam tujuh hari ini, kau harus menjaganya baik-baik, jangan sampai melukainya, dan jangan sekali-sekali mengingkari kata-kataku ini". Setelah selesai berpesan, si Tongkat Besi pun duduk bermeditasi, dan rohnya meninggalkan jasadnya, untuk pergi ke dunia lain bersama Taisang Laojun.
Sang murid Yangzi yang mendapat tugas untuk menjaga jasad gurunya itu menjalankan amanat sang guru dengan baik, siang dan malam tidak melalaikannya. Sampai hari keenam, tiba-tiba datanglah seorang keluarganya dengan cepat menghampiri dan berkata dengan gugup: "Ibu sakit sangat gawat, hampir hilang kesadarannya dan hanya menunuggu dan ingin melihat kamu seorang, tolonglah cepat pulang". Yangzi menangis tersedu-sedu dan berkata: "Ibu dalam kondisi kritis, namun roh guru pun belum kunjung tiba, seandainya saya pergi meninggalkannya, siapa yang akan menjaga jasadnya nanti."
Keluarganya berkata: "Jika manusia sudah mati, maka tidak akan hidup kembali, apalagi sudah enam hari lamanya, organ tubuhnya seperti paru-paru dan hatinya pasti sudah busuk, bagaimana bisa hidup lagi, sungguh sangat bodoh kamu! Saya berpendapat bahwa gurumu pergi enam hari dan belum kembali, dia sudah berdosa karena mengingkari janjinya. Jika orang tuamu meninggal dan melayat pun kamu tidak keburu, itu akan menjadi penyesalan seumur hidup. Lebih baik segera kau perabukan jasadnya dan pulang untuk merawat ibu di rumah." Selesai mendengar, hati Yangzi pun ragu. Tapi keadaan memerlukan keputusan tegas, tidak bisa ragu-ragu lagi, turuti saja kata-kata anggota keluarganya.
Lalu Yangzi menyiapkan kayu bakar dan meletakkan jasad guru di atasnya, mempersiapkan sesaji dan kuplet duka cita, menangis sembari menyembahyangi roh gurunya itu. Dalam kuplet duka cita itu tertulis: Ibu dalam kondisi sakit parah, namun roh guru pun belum kunjung datang jua, kata-kata guru wajib untuk dilaksanakan, namun keselamatan nyawa ibu juga menjadi pertimbangan. Melepaskan ikan untuk mendapatkan telapak beruang yang mahal, sulit untuk memilih salah satu di antaranya, hanya bisa berpamitan pada roh dalam linangan air mata, selamat tinggal gunung Huasan yang tercinta. Setelah selesai berdoa dan sembahyang, maka dinyalakan api yang berkobar-kobar membakar kayu, sekejap saja jasad pun menjadi abu. Yangzi menengadah ke langit dan menangis dengan tersedu-sedu, lalu pulanglah ia menuju ke rumahnya untuk melaksanakan tugasnya sebagai anak yang berbakti. Sesampainya di rumah, ibunya telah meninggal dunia.
Di sisi lain, arwah si Tongkat Besi yang sedang bertamasya menuju ke gunung Huasan, mengikuti Taisang Laojun ke berbagai kawasan di kayangan, melewati Penglai dan Fangzhang serta tiga puluh enam gua. Dalam wisata beberapa harinya itu, banyak sekali ia mendapat ilmu dari Laojun, dan akhirnya sampailah tujuh hari seperti rencana semula, lalu ia berpamitan kepada Laojun, namun Laojun hanya tersenyum tanpa kata, kemudian membuat sebuah mazmur Buddha serta mendorongnya agar segera pulang ke jasadnya. Mazmur (catatan) itu berbunyi: "Menebah padi tidak menebah gandum, kereta berjalan ringan menelusuri jalan yang hafal; Jikalau ingin mendapat jasad kembali, harus mencari wajah yang baru."
Si Tongkat Besi pulang persis di hari ketujuh dan sesampainya di pondok rumahnya, dicarilah tubuh yang dulu dia tinggalkan, namun tidak ditemukannya, bahkan sang murid Yangzi pun sudah tidak kelihatan. Yang tampak hanyalah bekas tumpukan kayu bakar, hawa yang hangat dari sisa pembakaran itu masih mengepul, sekelilingnya sunyi senyap, saat itu baru disadari apa yang telah terjadi dengan jasadnya itu, segalanya sudah terlambat dan hanya umpatan yang bisa dilontarkan kepada murid yang mengingkari janjinya.
Maka arwah si Tongkat Besi pun bergentayangan, hanya bisa menangis siang dan malam. Suatu hari, ia melihat seseorang yang mati kelaparan, tergeletak di sisi bukit, saat itulah secara tiba-tiba teringat kembali olehnya akan mazmur Laojun sebelum berpisah dengannya: "Kalau ingin mendapatkan jasad kembali, harus mencari wajah yang baru". Eh, siapa tahu mayat yang mati kelaparan itu justru sandaran yang ia tunggu-tunggu. Kalau memang demikian, buat apa menyalahkan orang lain? Apalagi arwahnya gentayangan dan tak mempunyai sandaran hidup, mana punya waktu lama-lama untuk pilih-pilih lagi?
Singkat cerita, si Tongkat Besi pun masuk ke dalam jasad mayat itu yang masih segar, lalu berdiri. Mayat kelaparan itu berwajah dekil dan rambut kusut, telanjang dada, dia berjalan timpang dan bertongkat bambu. Jadi tampangnya yang buruk rupa dan pincang yang dilihat oleh generasi berikutnya, adalah wujud yang berasal dari tubuh mayat kelaparan itu, bukanlah wujud dari badannya yang asli. Setelah masuk ke dalam jasad itu, maka ia dapat kembali lagi memiliki kemampuan supernormal untuk melakukan berbagai hal. Disemburkan air ke tongkat bambu yang ada di tangannya dan jadilah sebuah tongkat besi lagi. [Mei-Ing]