BUDAYA | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Minggu, 05 Juni 2011

TRADISI BAKAR-BAKARAN DALAM KEBUDAYAAN TIONGHOA

Leluhur orang Tionghoa sebelum mengenal agama dan filsafat telah terlebih dahulu mengenal penghormatan pada leluhur. Penghormatan leluhur ini kemudian menjadi titik tolak dan dasar daripada kepercayaan tradisional Tionghoa yang muncul lebih dulu daripada semua agama yang ada di Tiongkok. Kepercayaan tradisional pada mulanya hanya mempercayai bahwa ada 2 alam di alam semesta ini, alam langit dan alam manusia. Alam langit merupakan tempat domisili para dewa-dewi yang dimuliakan, mempunyai kontribusi dan jasa yang besar bagi masyarakat pada zamannya. Setelah masuknya Buddhisme, alam baka ditambahkan ke dalam konsep ini, sehingga menjadi 3 alam.

Evolusi kepercayaan tradisional Tionghoa ini kemudian mempercayai bahwa manusia setelah meninggal akan menuju ke alam baka, namun bagi manusia yang dianggap mempunyai kontribusi dan jasa besar bagi masyarakat dapat pengecualian untuk berdomisili di alam langit. Alam langit, alam baka juga dipercaya mempunyai pemerintahan, kehidupan interaksi masyarakat yang mirip dengan alam manusia. Atas dasar kepercayaan inilah, uang emas dan uang perak diciptakan. Uang emas (kim cua) adalah diperuntukkan kepada dewa-dewi di alam langit. Uang perak (gin cua) diperuntukkan kepada roh manusia di alam baka. Uang perak juga diperuntukkan bagi roh manusia yang gentanyangan di alam manusia (hantu).

Mengapa dibakar? Ini dikarenakan kepercayaan bahwa dewa api adalah penghubung antara ketiga alam tadi. Ini lazim di zaman dulu di banyak kebudayaan lainnya di dunia.

Sejak kapan? Tradisi ini tercatat pertama kali dalam literatur sejarah adalah di zaman Dinasti Jin (265 - 420). Di saat itu telah ada pembakaran uang kertas untuk menghormati leluhur. Tradisi ini menjadi tradisi umum di Tiongkok di zaman Dinasti Tang dan Dinasti Song.

Makna dari tradisi bakar-bakaran tetap saja adalah semacam simbolisasi saja. Simbolisasi atas penghormatan leluhur dan dewa-dewi. Dewa-dewi di dalam kebudayaan Tionghoa adalah makhluk adikodrat yang dimanusiakan, dianggap hidup dan bertindak seperti manusia. Itu makanya tidak heran kalau ada dewa yang mempunyai keluarga misalnya Yu Huang Da Di. Itu semuanya hanya untuk mendekatkan dewa-dewi dengan manusia.

Sekarang, tradisi bakar-bakaran tetap saja ada dilaksanakan di sebagian kalangan Tionghoa. Namun pergeseran nilai juga mulai menggeser tradisi ini. Tanpa mengurangi rasa hormat bagi yang percaya, pemerintah Taiwan, HK atau Singapura mulai mendorong kebijakan mengurangi jumlah pembakaran uang kertas ini. Di Taiwan, selain memasyarakatkan semboyan "kurang jumlah, tidak kurang bakti", pemerintah juga bekerjasama dengan kelenteng2 untuk memusatkan pembakaran uang kertas di tempat pembakaran yang ditentukan pemerintah. Banyak kelenteng yang sudah meniadakan kompor2 tempat pembakaran uang kertas. Semua ini tujuannya hanya satu, prevervasi lingkungan.

Orang tua saya masih melaksanakan tradisi ini, demi menghormati mereka, saya cuma menyarankan agar jumlah uang kertas yang dibakar dibatasi dalam jumlah tertentu karena jumlah tidak mewakili besar ketulusan hati. Bagi yang beranggapan membakar uang kertas dalam jumlah besar dapat menyenangkan leluhur atau menunjukkan bakti, lebih baik tunjukkan rasa sayang anda itu semasa leluhur anda masih di dunia.

http://yinnihuaren.blogspot.com
Email by: Rinto Jiang

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: KISAH

ARTIKEL: BERITA