Cong Chen dilahirkan penjual sayur yang hidup sederhana di dusun Pai Thu. Karena miskin, Cong Chen tidak dapat sekolah dan ia hanya belajar dirumah dengan ayahnya sebagai gurunya.
Berbagai hinaan dari teman sebayanya sering ia alami karena mereka miskin dan mengenakan pakaian yang telah usang.
Pada suatu ketika ayahnya sakit, Cong Chen dan ibunya kebingungan kemana mereka harus mencari uang untuk biaya pengobatan ayahnya. Tiada seorangpun termasuk para tabib di dusunnya yang bersedia membantu / mengobati sakit ayahnya yang semakin parah. Permohonan Cong Chen dan ibunya tidak dapat meluluhkan hati para tabib yang mata duitan.
Dalam keadaan putus asa, suatu hari Cong Chen berdoa di sebuah kelenteng memohon belas kasih kepada Tuhan, Buddha, Bodhisatva dan para Dewa agar sudi kiranya memberikan setitik berkah untuk kesembuhan ayahnya.
Ia bernamaskara di depan altar dengan mengucapkan sebuah ikrar bahwa bila ayahnya sembuh, seumur hidupnya ia akan menebar kebajikan, menolong mereka yang berada dalam kesusahan tanpa pamrih.
Doa tulus Cong Chen membumbung tinggi ke langit biru, menembus hamparan awan hingga ke surga, disebabkan doa yang diucapkannya juga disertai kebaikan yang telah banyak dilakukan dalam hidupnya.
Beberapa hari kemudian seorang ibu tua dengan tubuh yang kurus sekali dan bongkok, meminta sedekah makanan ke rumah Cong Chen. Walaupun mereka hanya sanggup makan bubur putih, namun Cong Chen tetap memberikan semangkuk bubur kepada ibu tua itu tersebut dengan ikhlas. Ternyata ibu tua itu sanggup menghabiskan 5 mangkuk bubur dan tetap dilayani Cong Chen dengan baik.
Ibu tua itu masih meminta tambahan bubur kepada Cong Chien. Dengan perasaan malu Cong Chen dan ibunya mengatakan bahwa buburnya telah habis.
Ibu tua : " Habis ?? Tidak apa-apa. Kalau begitu tolong masakkan lagi. Saya lapar sekali karena sudah 2 hari tidak makan "
Cong Chen : " Maaf, Bu. Persediaan beras kami juga sudah habis. Begini saja, ibu istirahat dulu sejenak sambil merenung. Saya carikan beras untuk memasak bubur.
Cong Chen pergi ke tempat penampungan beras untuk menawarkan jasa, agar mendapatkan semangkuk beras sebagai imbalan atas jasanya. Senja hari tiba, ketika ia sampai di rumah. Cong Chen melihat ayahnya sibuk duduk di halaman depan rumahnya dan tersenyum ceria menyambut kepulangannya. Ibu Cong Chen juga berdiri di samping ayahnya dengan tersenyum bahagia.
Cong Chen : "Ayah, mengapa duduk di luar rumah ?"
Ayah : "Ayah sudah agak sehat. Tadi pagi setelah kepergianmu, ibu tua itu memberikan ramuan dedaunan kepada ibumu untuk memasakkan obat untuk ayah, 2 kali minum obat itu penyakit ayah sudah agak baikan."
Dalam waktu 3 hari penyakit Sang Ayah telah sembuh sehingga mereka sekeluarga sangat suka cita. Ternyata selain mengobati sang Ayah ibu tua tersebut juga memberikan 3 jenis dedaunan beserta cara penggunaannya kepada Cong Chen dengan pesan agar ia bisa menepati ikrar / janji yang pernah diucapkannya di depan altar para Buddha di sebuah kelenteng. Ketiga jenis dedaunan itu rupanya selama ini banyak tumbuh di sekitar rumah Cong Chen.
Sejak saat itu Cong Chen menjadi seorang tabib yang terkenal akan jiwa luhurnya yang mengobati para pesakit, tanpa menerapkan berapa biaya pengobatan.
Disebabkan perbuatan baik yang rajin ditebarkannya, menggugah hati langit dan bumi sehingga Cong Chen diberikan berkah kebahagiaan hingga ke anak cucunya. Namanya di hormati dan di kenang selama 4 generasi.
Seperti pesan para leluhur di jaman dulu bahwa : "SEGALA PERBUATAN KITA TIDAK AKAN TERLEPAS DARI KESAKSIAN LANGIT DAN BUMI".
Bila orang bodoh dapat menyadari kebodohannya, maka ia dapat dikatakan BIJAKSANA.
Tetapi orang bodoh yang menganggap dirinya bijaksana sesungguhnya dialah yang disebut sebagai orang bodoh. [Angelina Lim / Medan]
* Sumber: Google Search Engine