Menurut legenda pada zaman Chun Qiu, ada sebuah desa bernama Qu Ren Li di daerah Lu Yi Ming, Tiongkok, di sana tinggal satu keluarga yang baik hati, sepasang suami istri yang sudah tua dan seorang anak perempuan. Anak perempuan itu rupawan, berpendidikan, mengerti sopan santun, rajin dan berhati baik.
Ayah dan ibu sangat menyayanginya, menganggap dirinya sebagai mutiara di atas telapak tangan orang tua.
Sekejap mata, anak perempuan ini telah berusia 18 tahun, tetapi seumur hidupnya ia berkeinginan tidak mau menikah, dan bersedia akan merawat kedua orang tuanya hingga akhir hayat, niatannya ini malah membuat kedua orang tuanya sangat cemas.
Suatu hari, anak perempuan ini pergi seorang diri ke sungai kecil yang berada di pintu masuk desa untuk mencuci pakaian. Airnya sangat jernih hingga terlihat dasar sungai. Ketika sedang menikmati pemandangan desa yang indah ini, mendadak dia melihat dari kejauhan, di atas sungai terapung-apung sebutir buah prem yang buahnya seperti dua perut yang saling membelakangi. Dia mengambil buah prem itu, terlihat buah prem tersebut satu sisinya tumbuh besar, sedangkan yang lain tampak pipih, lagi pula buah prem itu tampak ranum kuning kemerah-merahan, dia menggigitnya satu kali, mmm... rasanya manis bercampur sedikit masam, dia lalu memakan habis buah prem itu.
Saat selesai makan, dia merasa perasaannya sangat tidak enak, ada sedikit rasa ingin muntah, dia lalu berdiri dan hendak pulang ke rumah. Mendadak dia mendengar ada suara orang berbicara, dia melihat ke sekitar tapi tak nampak satu bayangan manusia pun. Tanpa sadar dia menundukkan kepala, ternyata suara itu datang dari perutnya sendiri. Dia lalu bertanya, " Siapakah Anda?"
Suara itu menjawab, "Ibu terhormat, saya adalah buah prem yang baru saja Anda makan, saya adalah putra Anda."
"Kalau memang Anda adalah putra saya, dan sudah bisa berbicara, maka cepatlah keluar."
"Tidak bisa, saya harus berada dalam perut ibu untuk berpikir serius, bagaimana membuat manusia dari tidak baik berubah menjadi baik, dari jahat berubah menjadi baik."
"Kalau begitu kapan engkau bisa keluar?"
"Ananda harus menunggu Langit Chang Yan, orang yang menuntun onta sudah datang, baru bisa keluar."
Dengan keadaan begini, mereka telah melewati tepat 81 tahun, sang ibu dan anak sering kali saling berbicara, waktu tidak menunggu orang, dia sudah menjadi seorang nenek tua yang berambut putih. Akhirnya pada suatu hari, sang ibu sudah tidak tahan lagi, dia berkata pada putranya di dalam perut, "Anakku, cepatlah keluar, langit sudah Chang Yan, orang yang menuntun onta juga sudah tiba." Baru selesai berbicara, anak dalam perutnya segera menyundul putus tulang rusuk ibunya, muncul ke dunia.
Sang ibu akhirnya bisa melihat putranya, ternyata dia seorang kakek kecil berjanggut dan beralis putih. Sang putra melihat rusuk kanan ibunya mengeluarkan darah tiada henti. Dia mencari orang yang menuntun onta juga tidak datang, maka dia segera tahu bahwa ibunya telah membohonginya, dia berlutut dan menangis, "Ibu, Anda telah membohongi ananda, orang yang menuntun onta tidak datang, saya tidak bisa menyobek kulit onta untuk saya tambalkan pada luka ibu, bagaimana sebaiknya ini?"
Selesai bicara dia menangis sedih. Ibunya berkata, "Anakku! Jangan menangis, ibu tidak akan mempersalahkanmu, kamu adalah anak kandung Ibu karena memakan buah prem itu, buah prem itu bentuknya persis seperti dua telinga, maka dirimu Ibu beri nama Li Er (artinya prem telinga). Engkau harus menjadi orang baik dalam dunia ini, sehingga Ibu tidak sia-sia mengandungmu selama 81 tahun."
Selesai berbicara sang ibu meninggal dunia. Dikemudian hari, karena sewaktu dilahirkan Li Er berupa seorang tua, maka khalayak umum menyebutnya sebagai Lao Zi.
Lao Zi pendiri aliran Tao, beranggapan Tao itu adalah asal dari dunia, adalah sumber awal dari segala materi dalam alam semesta. Lao Zi berpendapat Wu Wei, tidak memaksakan diri, segala sesuatu menurutkan keadaan sewajarnya. Belajar bagaimana menggunakan kelembutan untuk mengekang kekerasan, bagaimana mundur selangkah atau mengalah untuk kemajuan, dia juga manusia dalam dunia fana ini, berangsur-angsur berubah dari baik menjadi jahat, hanya semata-mata demi keuntungan, karena itu dia meninggalkan sebuah buku Dao De Jing yang berjumlah 5.000 kata, lalu pergi dengan tergesa-gesa.
Cuplikan cerita di bawah ini, menceritakan bagaimana Lao Zi menyadari sumber asal watak hakiki dari manusia dalam dunia fana ini.
Ketika Lao Zi sedang berjalan menuju ke Barat saat dia melewati tempat bernama Han Gu Guan, bertemu dengan seseorang yang bernama Yi Xi mengundangnya untuk bertamu di rumahnya.
Yi Xi mempunyai dua putra yang berusia di bawah tiga tahun, putra sulung bertampang seperti seorang yang sangat jujur, putra bungsu bertampang cerdik dan pandai. Tangan Yi Xi membawa sebatang emas, mohon kepada Lao Zi untuk meramalkan kedua putranya, anak mana yang akan berbakti dan mempunyai kemampuan besar.
Lao Zi menerima batangan emas yang berada di tangan Yi Xi, lalu berkata kepada anak sulung Yi Xi, "Nak, jika mau memukul ayahmu, batangan emas yang berada di tangan saya ini akan diberikan kepadamu." Tetapi tak peduli Lao Zi bagaimana membujuk anak itu dengan kata-kata manis, anak itu tetap saja tidak memukul dan tidak menerima batangan emas itu.
Lao Zi lalu menyodorkan batangan emas itu kepada anak yang kedua, dan mengulangi kata-kata yang sudah dia ucapkan kepada anak sulung itu. Setelah si bungsu mendengar bujuk rayu Lao Zi dengan gembira dia mengambil batangan emas itu lalu memukul ayahnya, setelah itu dia membalikkan badan dan pergi.
Dengan gembira Yi Xi berkata, "Hitung-hitung anak kedua ini yang berakal, kelak di hari tua saya akan meng-andalkan anak tersebut." Tetapi Lao Zi menggelengkan kepalanya dan berkata, "Adik Xi, kalau menurut saya, kelak yang bisa berbakti kepada Anda adalah anak sulung Anda, bukan anak kedua. Anak sulung Anda itu memberatkan budi daripada keuntungan, memiliki rasa ketulusan hati, sedangkan anak kedua melihat keuntung-an lupa akan keadilan dan kebenaran, tidak mempunyai ketulusan hati."
Orang yang berada disekitar tertawa dan berkata, "Bisakah diputuskan dengan cara demikian?" Lao Zi berkata, "Semua manusia akan berubah, jika di Tiongkok tidak ada perubahan yang khusus, perkembangan selanjutnya pasti akan bisa seperti itu."
Sekejap mata beberapa puluh tahun telah berlalu, Yi Xi pensiun dari tugas dan pulang ke kampung halaman, karena usia dia sering sakit-sakitan. Saat itu putra sulungnya setiap hari setia menemaninya, menjual semua benda-benda berharga yang ada dalam rumah sebagai biaya pengobatan ayahnya. Setelah semua hartanya habis, dia pergi meminta-minta untuk menghidupi orang tuanya.
Sedangkan putra bungsu Yi Xi, mendengar ayahnya sedang sakit, dia sama sekali tidak memedulikan, ketika sakit ayahnya sangat parah, dia malah berkata, " Pergi berdagang mencari keuntungan lebih penting daripada menjenguk ayah, jika saya menjenguk bisa mengurangi banyak keuntungan saya." Demikianlah, dia sama sekali tidak pernah pulang ke rumah untuk menjenguk ayah yang mendidik dan membesarkan dia.
Saat itu Yi Xi mendadak teringat kata-kata yang pernah diucapkan Lao Zi pada puluhan tahun lalu. [Linda Lim / Surabaya]
Ayah dan ibu sangat menyayanginya, menganggap dirinya sebagai mutiara di atas telapak tangan orang tua.
Sekejap mata, anak perempuan ini telah berusia 18 tahun, tetapi seumur hidupnya ia berkeinginan tidak mau menikah, dan bersedia akan merawat kedua orang tuanya hingga akhir hayat, niatannya ini malah membuat kedua orang tuanya sangat cemas.
Suatu hari, anak perempuan ini pergi seorang diri ke sungai kecil yang berada di pintu masuk desa untuk mencuci pakaian. Airnya sangat jernih hingga terlihat dasar sungai. Ketika sedang menikmati pemandangan desa yang indah ini, mendadak dia melihat dari kejauhan, di atas sungai terapung-apung sebutir buah prem yang buahnya seperti dua perut yang saling membelakangi. Dia mengambil buah prem itu, terlihat buah prem tersebut satu sisinya tumbuh besar, sedangkan yang lain tampak pipih, lagi pula buah prem itu tampak ranum kuning kemerah-merahan, dia menggigitnya satu kali, mmm... rasanya manis bercampur sedikit masam, dia lalu memakan habis buah prem itu.
Saat selesai makan, dia merasa perasaannya sangat tidak enak, ada sedikit rasa ingin muntah, dia lalu berdiri dan hendak pulang ke rumah. Mendadak dia mendengar ada suara orang berbicara, dia melihat ke sekitar tapi tak nampak satu bayangan manusia pun. Tanpa sadar dia menundukkan kepala, ternyata suara itu datang dari perutnya sendiri. Dia lalu bertanya, " Siapakah Anda?"
Suara itu menjawab, "Ibu terhormat, saya adalah buah prem yang baru saja Anda makan, saya adalah putra Anda."
"Kalau memang Anda adalah putra saya, dan sudah bisa berbicara, maka cepatlah keluar."
"Tidak bisa, saya harus berada dalam perut ibu untuk berpikir serius, bagaimana membuat manusia dari tidak baik berubah menjadi baik, dari jahat berubah menjadi baik."
"Kalau begitu kapan engkau bisa keluar?"
"Ananda harus menunggu Langit Chang Yan, orang yang menuntun onta sudah datang, baru bisa keluar."
Dengan keadaan begini, mereka telah melewati tepat 81 tahun, sang ibu dan anak sering kali saling berbicara, waktu tidak menunggu orang, dia sudah menjadi seorang nenek tua yang berambut putih. Akhirnya pada suatu hari, sang ibu sudah tidak tahan lagi, dia berkata pada putranya di dalam perut, "Anakku, cepatlah keluar, langit sudah Chang Yan, orang yang menuntun onta juga sudah tiba." Baru selesai berbicara, anak dalam perutnya segera menyundul putus tulang rusuk ibunya, muncul ke dunia.
Sang ibu akhirnya bisa melihat putranya, ternyata dia seorang kakek kecil berjanggut dan beralis putih. Sang putra melihat rusuk kanan ibunya mengeluarkan darah tiada henti. Dia mencari orang yang menuntun onta juga tidak datang, maka dia segera tahu bahwa ibunya telah membohonginya, dia berlutut dan menangis, "Ibu, Anda telah membohongi ananda, orang yang menuntun onta tidak datang, saya tidak bisa menyobek kulit onta untuk saya tambalkan pada luka ibu, bagaimana sebaiknya ini?"
Selesai bicara dia menangis sedih. Ibunya berkata, "Anakku! Jangan menangis, ibu tidak akan mempersalahkanmu, kamu adalah anak kandung Ibu karena memakan buah prem itu, buah prem itu bentuknya persis seperti dua telinga, maka dirimu Ibu beri nama Li Er (artinya prem telinga). Engkau harus menjadi orang baik dalam dunia ini, sehingga Ibu tidak sia-sia mengandungmu selama 81 tahun."
Selesai berbicara sang ibu meninggal dunia. Dikemudian hari, karena sewaktu dilahirkan Li Er berupa seorang tua, maka khalayak umum menyebutnya sebagai Lao Zi.
Lao Zi pendiri aliran Tao, beranggapan Tao itu adalah asal dari dunia, adalah sumber awal dari segala materi dalam alam semesta. Lao Zi berpendapat Wu Wei, tidak memaksakan diri, segala sesuatu menurutkan keadaan sewajarnya. Belajar bagaimana menggunakan kelembutan untuk mengekang kekerasan, bagaimana mundur selangkah atau mengalah untuk kemajuan, dia juga manusia dalam dunia fana ini, berangsur-angsur berubah dari baik menjadi jahat, hanya semata-mata demi keuntungan, karena itu dia meninggalkan sebuah buku Dao De Jing yang berjumlah 5.000 kata, lalu pergi dengan tergesa-gesa.
Cuplikan cerita di bawah ini, menceritakan bagaimana Lao Zi menyadari sumber asal watak hakiki dari manusia dalam dunia fana ini.
Ketika Lao Zi sedang berjalan menuju ke Barat saat dia melewati tempat bernama Han Gu Guan, bertemu dengan seseorang yang bernama Yi Xi mengundangnya untuk bertamu di rumahnya.
Yi Xi mempunyai dua putra yang berusia di bawah tiga tahun, putra sulung bertampang seperti seorang yang sangat jujur, putra bungsu bertampang cerdik dan pandai. Tangan Yi Xi membawa sebatang emas, mohon kepada Lao Zi untuk meramalkan kedua putranya, anak mana yang akan berbakti dan mempunyai kemampuan besar.
Lao Zi menerima batangan emas yang berada di tangan Yi Xi, lalu berkata kepada anak sulung Yi Xi, "Nak, jika mau memukul ayahmu, batangan emas yang berada di tangan saya ini akan diberikan kepadamu." Tetapi tak peduli Lao Zi bagaimana membujuk anak itu dengan kata-kata manis, anak itu tetap saja tidak memukul dan tidak menerima batangan emas itu.
Lao Zi lalu menyodorkan batangan emas itu kepada anak yang kedua, dan mengulangi kata-kata yang sudah dia ucapkan kepada anak sulung itu. Setelah si bungsu mendengar bujuk rayu Lao Zi dengan gembira dia mengambil batangan emas itu lalu memukul ayahnya, setelah itu dia membalikkan badan dan pergi.
Dengan gembira Yi Xi berkata, "Hitung-hitung anak kedua ini yang berakal, kelak di hari tua saya akan meng-andalkan anak tersebut." Tetapi Lao Zi menggelengkan kepalanya dan berkata, "Adik Xi, kalau menurut saya, kelak yang bisa berbakti kepada Anda adalah anak sulung Anda, bukan anak kedua. Anak sulung Anda itu memberatkan budi daripada keuntungan, memiliki rasa ketulusan hati, sedangkan anak kedua melihat keuntung-an lupa akan keadilan dan kebenaran, tidak mempunyai ketulusan hati."
Orang yang berada disekitar tertawa dan berkata, "Bisakah diputuskan dengan cara demikian?" Lao Zi berkata, "Semua manusia akan berubah, jika di Tiongkok tidak ada perubahan yang khusus, perkembangan selanjutnya pasti akan bisa seperti itu."
Sekejap mata beberapa puluh tahun telah berlalu, Yi Xi pensiun dari tugas dan pulang ke kampung halaman, karena usia dia sering sakit-sakitan. Saat itu putra sulungnya setiap hari setia menemaninya, menjual semua benda-benda berharga yang ada dalam rumah sebagai biaya pengobatan ayahnya. Setelah semua hartanya habis, dia pergi meminta-minta untuk menghidupi orang tuanya.
Sedangkan putra bungsu Yi Xi, mendengar ayahnya sedang sakit, dia sama sekali tidak memedulikan, ketika sakit ayahnya sangat parah, dia malah berkata, " Pergi berdagang mencari keuntungan lebih penting daripada menjenguk ayah, jika saya menjenguk bisa mengurangi banyak keuntungan saya." Demikianlah, dia sama sekali tidak pernah pulang ke rumah untuk menjenguk ayah yang mendidik dan membesarkan dia.
Saat itu Yi Xi mendadak teringat kata-kata yang pernah diucapkan Lao Zi pada puluhan tahun lalu. [Linda Lim / Surabaya]