Masyarakat tionghoa memiliki suatu budaya sangat menghormati orang tua (papa dan mama), diakui bahwa jasa orang tua (papa-mama) adalah paling besar.
Sejak bayi masih di dalam kandungan ibu, ibu yang menghamili si bayi dengan hati yang mulia memperhatikan dan memelihara pertumbuhan sang bayi dalam kandungan; saat melahirkan bayi, betapa penderitaan dari seorang ibu yang menahan sakit.
Saat bayi telah lahir, orang tua (papa-mama) lah yang paling memperhatikan si bayi, dirawat, dipelihara, diberikan yang terbaik kepada sang bayi.
Saat bayi sudah berusia sekolah, mereka disekolahkan oleh orang tua, mereka diantar dan jemput ke sekolah.
Pendek kata dari bayi hingga dewasa, para orang tua (papa-mama) bersedia menanggung segala penderitaan agar anak mereka bisa lebih baik, lebih pintar, lebih sehat.
Dalam ungkapan "sehari sebagai guru, seumur hidup sebagai papa". Ini menunjukan dalam kebudayaan tionghoa, mereka sangat menghormati guru hingga sang guru sebagai pengajar disejajarkan atau disamakan dengan orang tua. Kenapa ?
Guru, adalah mereka yang telah membimbing, membina, mengajar kita jadi lebih maju, walaupun ini hanya terjadi dalam waktu satu hari saja, mereka tetap adalah guru.
Pengetahuan dari seorang guru, mereka peroleh dengan rajin belajar, rajin bereksperimen, rajin mengevaluasi hal-hal yang dipelajari yang diterapkan dalam kehidupan.
Bisa saja pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh seorang guru membutuhkan waktu yang sangat lama, bisa hingga 2-3 tahun, atau 5-10 atau 20 tahun lebih.
Dengan pengetahuan yang mereka miliki yang diperoleh dari tahun demi tahun, pada saat mengajarkan kepada muridnya pengalaman tersebut di-sharing, di-transfer dalam beberapa jam, beberapa hari atau beberapa bulan.
Banyak sekali kejadian yang terjadi, setelah seorang (guru) mentransfer pengetahuannya kepada temannya atau kepada muridnya dan setelah temannya atau muridnya mengerti pengetahuan tersebut, sang teman atau sang murid malah menggeser posisi sang guru.
Mereka tidak berterima kasih kepada sang guru, malah merebut posisi sang guru, sungguh sangat "wang eng fu yi", melupakan jasa dari seorang guru, orang-orang tersebut sudah lupa atau tidak mengetahui kebudayaan "Yi Rek We Se, Cung Seng We Fu". [Linda Lim / Denpasar / Bali / Tionghoanews]