BUDAYA | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Kamis, 21 April 2011

PANDIR RATAKAN GUNUNG

Pada zaman dahulu kala, ada seorang tua yang dikenal sebagai Pak Pandir. Usianya sudah hampir 90 tahun. Rumahnya berhadapan dengan dua buah gunung yang besar, yaitu Gunung Thaihang dan Gunung Wangwu. Kedua gunung tersebut menjadi penghalang perjalanan Pak Pandir sekeluarga.

Pada suatu hari, Pak Pandir mengumpulkan keluarganya dan berkata, "Bagaimana, kalau kita sekeluarga berusaha bersama-sama meratakan kedua gunung itu?"

Bila mendengar saran Pak Pandir itu, anak dan cucu-cicitnya berkata, "Saran itu bagus. Marilah kita mulai meratakan kedua gunung itu padaesok hari." Akan tetapi, istri Pak Pandir merasa tugas itu terlalu sulit untuk dilaksanakan dan mengemukakan pendapat yang bertentangan, "Kita sudah tinggal di sini begitu lama, mengapa kita tidak bisa terus hidup begini saja? Tambahan, kedua gunung itu begitu besar. Jika ia dapat diratakan, tempat mana yang dapat menampung begitu banyak batu dan lumpur? "

Tampilan isteri Pak Pandir ini menimbulkan reaksi dan diskusi dalam kalangan anak cucunya. Masalah itu memang sulit diselesaikan. Akhirnya, mereka dengan sebulat suara memutuskan untuk mengangkut batu dan lumpur tersebut ke laut. "

Keesokan harinya, Pak Pandir pun memimpin keluarganya untuk mulai meratakan kedua gunung tersebut. Ada seorang tetangganya, janda yang memiliki seorang anak lelaki yang berumur sekitar tujuh atau delapan tahun. Bila mendengar berita bahwa keluarga Pak Pandir akan meratakan gunung, dia pun datang mengulurkan bantuan. Akan tetapi, peralatan mereka hanyalah cangkul dan bakul, sedangkan kedua gunung tersebut jarak yang agak jauh dari laut. Setiap hari, setiap orang hanya mampu berulang sekali saja dari gunung ke laut. Jadi, walaupun setelah berusaha selama sebulan, gunung itu nampaknya sama saja dibandingkan waktu sebelumnya.

Pada suatu hari, ada seorang tua yang disebut Pak Pintar. Melihat keluarga Pak Pandir yang sedang meratakan gunung, dia merasa geli hati. Dia pun berkata kepada pelanggannya, "Usia awak sudah lanjut, dan awak pun susah berjalan, bagaimana awak hendak meratakan kedua gunung yang begitu besar?"

Pak Pandir menjawab, "Nama awak Pintar, akan tetapi awak tidak lebih pijak dari budak-budak. Bila saya mati, anak-anak saya akan melanjutkan kerja saya ini; bila mereka mati, cucu-cicit saya akan melanjutkan, dan kerja akan diteruskan oleh anak-anak mereka sampai ke cucu-cicit mereka turun-temurun. Batu dan lumpur di gunung tersebut semakin berkurang, karena kami mengkompensasi ketidakrataan di lantai setiap hari, setiap bulan dan setiap tahun. Mengapa kami tidak dapat meratakan gunung tersebut? " Pak Pintar itu tidak bisa menjawab lagi.

Pak Pandir dan keluarganya terus meratakan kedua gunung tersebut dengan tidak menghiraukan kondisi cuaca, panas atau dingin. Mereka bekerja dari siang sampai malam setiap hari. Akhirnya, menurut ceritanya, Dewa terharu melihat ketabahan mereka, lalu mengirim dua peri untukt memindahkan kedua gunung tersebut.

Pengajaran:

Kisah ini memberikan pengajaran kepada kita agar jangan berputus asa ketika menghadapi kesulitan.

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: KISAH

ARTIKEL: BERITA