Sikap hormat dewa bumi terhadap pemuda itu ternyata mendapat perhatian dari seorang tuan tanah besar yang kaya di desa itu. Kebetulan ia sedang mempersiapkan akan menikahkan putrinya, namun pilih punya pilih selalu tidak menemukan calon suami yang memenuhi syarat, para ksatria cerdik pandai yang datang melamar, pun semuanya telah ditolak oleh tuan tanah besar. Ia justru berpikir pemuda itu bisa menjadi pendamping hidup putrinya walau kelakuannya ceroboh. “Sang dewa bumi saja begitu menghormatinya, suatu saat dewa bumi pasti sangat berharap banyak kepadanya,” pikirnya.
Keputusan si tuan tanah akan menikahkan anaknya dengan pemuda brandal itu mendapat reaksi dari warga desa lainnya. Tidak cukup hanya menentang bahkan mereka khusus datang ke rumahnya untuk menasihati tuan tanah itu, dan berharap ia mempertimbangkan masak-masak pilihannya itu. Namun si tuan tanah besar berkata kepada tetangganya, “Di desa kita mana ada orang yang ketika melewati klenteng dewa bumi maka dewa bumi akan berdiri?”. Ia tetap bersikukuh menikahkan putrinya dengan pemuda itu.
Pesta secara besar-besaran akhirnya dilangsungkan menandai diresmikannya ikatan perkawinan mereka. Di luar dugaan, setelah menikahi putri tuan tanah, watak dasar pemuda itu tetap tidak berubah, masih suka mencuri barang milik orang lain. Namun saat ia melewati klenteng dewa bumi, sang dewa bumi yang melihatnya pun masih tetap berdiri.
Si tuan tanah besar merasa sangat heran, tak tahan melihat polah mantunya, ia akhirnya bersujud dan bertanya kepada dewa bumi, apa gerangan sebabnya? Si dewa bumi menjawab, “Jika saya tidak berdiri, sepatu (saya) pasti akan dicuri olehnya!”. Makna dari cerita ini adalah apabila seseorang tidak mau bersikap realistis, secara membabi-buta menganggap dirinya paling benar, dan dengan pertimbangan yang sempit menilai suatu permasalahan, akan mengakibatkan kesalahan fatal, persis seperti si tuan tanah yang bodoh, yang diperoleh tidak sebanding dengan yang dikorbankan! [Mei-ing]