BUDAYA | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Minggu, 19 Februari 2012

KOTA ZAMAN WEI JIN (2): AURA KEBUDDHAAN DI ZAMAN KERUH

Pada 383 Masehi, Fu Jian dari kerajaan Qin Awal (338-385 Masehi), dengan tanpa mempedulikan tentangan banyak orang, memimpin pasukan besar  menyerbu Jin Timur di Tiongkok Selatan, maka meletuslah pertempuran Fei Shui (淝水) yang terkenal.

Fu Jian yang congkak sebelum berperang sempat berkoar, "Sungai Yang Tse penghalang alami ini apanya yang ditakutkan? Saya memiliki jutaan tentara (realitanya hanya sekitar 870.000 ribu serdadu), cukup sekali saya memberi aba-aba dan memerintah para serdadu itu ramai-ramai melecutkan cambuk kulitnya ke dalam sungai, langsung akan memutus aliran sungai itu!" (peribahasa "Melempar cambuk memutus sungai" (投鞭斷河) berasal dari anekdot ini.)

Kala itu Jin Timur masih lemah, kerap terjadi pemberontakan, dalam menghadapi agresi dari luar, mau berperang atau berdamai, pendapat para pejabat tidak seragam, akhirnya pejabat tinggi Xie An membuat gebrakan dan mengirim 80.000 tentara berhadapan di Fei Shui (kini sebelah tenggara kabupaten Shou propinsi Anhui).

Pasukan Jin mula pertama mengambil strategi penyerangan unik dengan tentara elit menghantam tentara dari utara tersebut, sesudah digerilya bertubi-tubi oleh pasukan Jin Timur, semangat tempur pasukan anjlok, percaya diri Fu Jian mulai goyah. Ia sewaktu menaiki tembok kota Shou Chun mengamati gerak gerik pasukan musuh, menyaksikan gunung di kejauhan penuh ditumbuhi pepohonan dan rerumputan, ketika angin berhembus dan rumput bergoyang, seolah pasukan musuh yang tak terhingga jumlahnya sedang menyanggong disitu, sepertinya musuh berada dimana-mana, hatinya merasa sangat ciut. Di kemudian hari orang dengan mengatakan "Rumput dan pohonpun bagaikan tentara (草木皆兵)" untuk melukiskan kondisi seseorang yang sensitif atau paranoid.

Peribahasa satunya lagi ialah "Deru angin dan tangisan bangau (風聲鶴唳)" berasal dari cerita Fu Jian sesudah kalah perang lari tunggang langgang, mendengar suara angin ataupun pekikan burung bangau, dikiranya pasukan Jin memang sedang mengejarnya terus, yakni bermakna sikon yang sangat membahayakan atau kondisi hati yang amat ketakutan.   

Pengaturan sejarahlah yang telah membuat dalam perang ini, Jin Timur dengan pasukan jauh lebih kecil melawan pasukan dengan jumlah jauh lebih besar, tapi toh tetap memperoleh kemenangan besar dan mengokohkan situasi terpecah dengan pembagian untuk wilayah Utara dan Selatan, pihak Utara dikarenakan Fu Jian kalah perang maka memasuki lagi kondisi keruh dan terancam terpecah-belah.

Perang di Fei Shui dan di Chi Bi (zaman Samkok) relatif sama, kedua-duanya adalah perang terkenal yang telah mengubah dunia, selain itu, dengan pasukan minim jumlah dapat mengalahkan lawan dengan jumlah jauh lebih besar dan telah mengokohkan situasi pembagian wilayah.   

Fu Jian kalah besar, dan menunggang kuda seorang diri balik kembali ke Chang An, semenjak saat itu kekuatan negaranya melemah, wilayah utara lagi-lagi terbenam ke dalam perpecahan.  Dua tahun kemudian, yakni tahun 385, Mu Rong Si (慕容氏) dari kerajaan Yan Utara (北燕) merebut Chang An, lalu Fu Jian melarikan diri ke gunung Wu Jiang, anak buahnya yang bernama Yao Chang (姚萇) meminta stempel pusaka negara tapi ditolak, maka ia menggantung mati Fu Jian di kuil Xin Ping Fo. [Anastasia Kang / Dumai]

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: KISAH

ARTIKEL: BERITA